Rabu, 17 Juli 2013

Jalan



Di zaman nisbi seperti ini,
Kau tawarkan aku jadi petani.

Itu ide gila!

Petani itu pekerja mulia. Pekerja setingkat dewa.
Ia menghidupi walau tak terhidupi.
Ia melayani saat tak terlayani.

Kau pikir aku setegar besi?
Yang rela masa panennya dimakan hama dan paceklik yang murka menjadi.
Kau pikir aku sesabar hati?
Yang hanya diam hasil panennya dibeli murah oleh tengkulak berjiwa mati.

Mau apa lagi?
Di Indonesia, negeri yang selalu berada di masa genting ini,
Aku lebih memilih jadi seorang pejalan.
Yang menerima laut, gunung, hutan bahkan kota sebagai teman.
Kalau tak begitu, mungkin aku akan menjadi si pemarah,
yang akan kehabisan tenaga di usia yang belum terlalu tua.

Bukankah kita pernah berjalan bersama?

Tentu kau masih sangat ingat, saat kita menuju ke tempat jauh di utara nusantara.
Disana kita berjumpa masyarakat yang sama-sama kita kagumi.
Mereka kelompok komunal yang tak pernah lagi peduli.
Diperhatikan atau tidak bagi mereka tak ada rugi.
 Yang mereka tahu, hidup itu harus berarti.
Lalu mati meninggalkan jejak budi.

Apakah kau tak mau berjalan lebih jauh?
Ke tempat yang belum sempat kita ketahui.
Melihat dan membuka sudut pandang yang lebih luas lagi.
Sambil berharap bertemu nilai hidup yang lain.

Hidup itu terlalu berharga untuk dihabiskan pada satu tujuan.
Percayalah!

Tahukah engkau apa esensi berjalan bagiku?
Bagiku, tujuan tertinggi dari berjalan adalah bergerak.
Aku menyukainya karena ia adalah anjuran yang mendalam.
Dalam bergerak, kata Rasul-ku, terdapat berkah,
dan berkah selalu bersama jiwa yang bergerak, jiwa yang tak mati.

Bagaimana? Kau tertarik berjalan denganku, Yuni?
Kalau ya, tentu aku rela mengajakmu serta.
Dengan senang hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar