Atri, Saya, Cheper, dan Tajrim di posko Kecamatan Sebatik Utara. |
Marhaban Yaa Ramadhan.
Selamat menjalankan ibadah puasa kepada teman-teman yang melaksanakan.
Mumpung lagi bulan Ramadhan, Saya ingin mengenang masa KKN
(Kuliah Kerja Nyata) Saya yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan tiga tahun lalu
di Pulau Sebatik. Ya sekalian berbagi pengalaman kepada teman-teman yang
sebentar lagi akan menunaikan tugas KKN pada bulan Juni – Juli nanti lah.
Kami tiba di Pulau Sebatik pada bulan Juni, Saya lupa
tanggal pastinya, setelah terombang-ambing di atas Kapal Tidar milik Pelni
selama dua hari dan sempat singgah semalam di Nunukan. Saya baru tahu akan
ditempatkan di Desa Sei Pancang bersama tiga teman lainnya pada saat bermalam
di Nunukan. Jadi belum ada gambaran sama sekali dan serba menerka-nerka akan seperti
apa daerah penempatan kami itu. Saya bernasib satu posko dengan tiga lelaki
tangguh tapi tetap lucu-lucu; Tajrim dari Fakultas Ekonomi, Atri dari Fakultas
Teknik, dan Rahmat Cheper (seharusnya “Ceper” tapi ditambah huruf “h” biar jadi
keren katanya. Hehehe.) dari Fakultas Pertanian. Untuk angkatan pertama ini,
jumlah peserta KKN Unhas di Pulau Sebatik berjumlah (hanya) dua puluh orang.
Dua puluh orang ini dibagi dalam lima posko di lima Desa. Jadi masing-masing
posko akan dihuni oleh empat orang peserta. Namanya juga angkatan pertama,
semua serba meraba soal daerah penempatan masing-masing. Tapi malah itu yang membuat KKN ini menyenangkan karena semua hal yang dilakukan akan memberikan efek kejutan
dan membawa pengalaman baru.
Kalau tidak salah ingat, kami mendapati bulan Ramadhan pada
pertengahan masa KKN. Hal ini membuat persiapan berpuasa menjadi lebih enak
karena kami sudah mengenal medan juga orang-orang di sekitar. Pulau Sebatik yang
mayoritas penduduknya adalah pendatang yang
bersuku Bugis juga menjadi hal yang membuat proses adaptasi menjadi
lebih mudah. Bahkan kami merasa seperti sedang tingal di salah satu kabupaten
di Sulawesi Selatan saja. Selain bahasa yang sudah berakulturasi dengan bahasa
Melayu Serawak, hampir semua kebiasaan khas Bugis-Makassar masih akrab disana.
Seperti kebiasaan masyarakat Bugis-Makassar, sehari sebelum
memasuki bulan Ramadhan masyarakat Pulau Sebatik juga mengadakan semacam
syukuran yang biasa disebut sebagai Baca
Doang (membaca doa). Berbagai makanan seperti sokko’ (nasi ketan), ayam kari, ayam goreng juga sup menjadi
sajiannya. Kami mendapat beberapa undangan untuk singgah dari beberapa orang
yang sudah kami kenal di Kantor Desa atau Kantor Kelurahan. Disini enaknya
ber-KKN di desa. Masyarakat masih sangat ramah apalagi terhadap orang-orang
pendatang. Kalau cuma ajakan singgah untuk makan hampir setiap hari didapat.
Hehehe.
Sehari sebelum Ramadhan juga Tajrim dan Cheper mengajak
untuk berbelanja kebutuhan untuk sahur. Saya dan Atri yang pengalaman dapurnya
cuma sampai di sajian indomie goreng telur tentu mengiyakan saja. Beras,
beberapa lauk-pauk juga sayuran menjadi pilihan. Cheper yang secara meyakinkan
mengaku pandai memasak dilipih jadi tukang masak utama. Sialnya, makanan
yang biasa dibuat oleh cheff kami ini
adalah masakan dengan cita rasa pedas. Sayur pedas, tempe goreng super pedas,
telur dadar juga pedas. Tinggal nasi putihnya saja yang tidak pedas. Kami
murka. Atri pun mengutuki Cheper subuh itu. Beruntung, lagi-lagi datang kiriman
makanan dari tetangga. Yang paling rajin mengirimi kami makanan adalah Kak
Badriah yang biasa dipanggil Kak Bade’. Baik pada saat sahur ataupun berbuka
puasa, kami sangat sering dikirimi atau diajak makan di rumahnya yang terletak
persis di depan posko kami.
Alternatif tempat sahur kami jika sedang malas memasak
adalah Rumah Makan Nelayan yang sangat dekat dengan posko kami. Rumah makan ini
ternyata buka sampai pagi. Menu yang disajikan serba seafood dan diolah menjadi berbagai jenis masakan; nasi goreng, mie
goreng, sup, sampai tom yam. Harganya juga tidak terlalu mahal untuk ukuran
mahasiswa seperti kami. Saya ingat hari terakhir di Desa Sei Pancang sebelum
pemulangan kami sepakat untuk sahur di Rumah Makan Nelayan ini. mumpung waktu
itu “uang hidup” yang diberikan oleh sponsor masih lumayan, subuh itu kami
memesan makanan yang lebih banyak daripada sahur-sahur sebelumnya. ya semacam
pesta perpisahan dengan posko lah ceritanya.
Setelah salat subuh biasanya Saya dan Tajrim tidak langsung
kembali ke posko. Seperti kebiasaan sebelum masuk bulan Ramadhan, kami selalu
menyempatkan ke Dermaga Sei Pancang. Kalau sedang cerah matahari terbit di
dermaga ini sangat sayang untuk dilewatkan. Sebelum pukul enam pagi di ujung
jembatan akan muncul sebulat kuning besar seperti ingin menghampiri kita. Pantulan
cahayanya di laut membentuk segaris emas. Waktu pertama kali melihat sunrise di spot tersebut saya langsung
takjub dan datang hampir setiap pagi disana. Momen ini bahkan lebih menarik
daripada pemandangan Gunung Kinabalu di Tawau seberang.
Matahari terbit di Dermaga Sei Pancang, Pulau Sebatik. |
Ketika matahari mulai merangkak naik, momen menarik lainnya
juga penting. Sekitar pukul delapan pagi dermaga mulai ramai oleh tukang ojek
yang mengantar orang-orang yang akan menyeberang ke Tawau Malaysia. Kebanyakan dari
mereka pergi ke sana untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual kembali
di Sebatik. Di dermaga ini pula saya berkenalan dengan beberapa orang yang
kemudian menjadi informan kami dalam menyusun program kerja KKN. Bahkan beberapa
dari mereka sudah menjadi teman akrab yang sesekali masih saya telepon untuk sekedar
menanyakan kabar.
Kegiatan pada siang hari sudah kami alokasikan untuk
menjalankan program kerja KKN atau membantu beberapa pekerjaan di Kantor Desa
atau di Kantor Kecamatan Sebatik Utara. Kami sempat membantu orang-orang
kecamatan untuk mempersiapkan Pasar Ramadhan. Selain akan digunakan sebagai
tempat berjualan hidangan berbuka puasa, tempat ini juga rencananya akan
dipakai sebagai tempat dilaksanakannya beberapa lomba Ramadhan. Sayang kami
keburu pulang sebelum tempat tersebut benar-benar digunakan untuk kegiatan yang
sudah disusun tersebut.
Masa menjelang berbuka puasa di Desa Sei Pancang adalah saat
paling menyenangkan bagi saya. Apalagi kalau bukan karena hadirnya berbagai
macam takjil dan hidangan berbuka puasa yang digelar di Pasar Sei Pancang. Di luar
Ramadhan, pasar ini hanya buka pada pada hari Senin, Kamis dan Malam Minggu. Tapi
selama Ramadhan pasar ini selalu ramai setiap harinya.
Penganan favorit saya adalah Roti Canai Pakcik. Secara penampilan,
canai ini biasa saja sebenarnya. Hanya sebongkah roti tipis dengan siraman kari
sapi. Sesimpel itu. Tapi soal rasa canai ini juara menurut saya. rotinya empuk
dan lembut saat dikoyak. Gurihnya tipis. Ditambah kuah kari sapi, yang walaupun
kaya akan bumbu tapi sangat pas di lidah. Canai yang baik bagi saya adalah
perpaduan antara roti dan kuah kari yang rasanya sama-sama nyaman di lidah. Dan
bagi saya Roti Canai Pakcik ini masih yang terbaik bagi saya. bonusnya adalah
kita dapat melihat langsung atraksi si Pakcik saat membuat roti canainya. Bagaimana
adonan roti mulai ditakar lalu dilempengkan kemudian digepengkan adalah hiburan
tersendiri saat menanti pesanan kita. Harganya pun sangat murah. Sebuah roti
canai dengan kuahnya dapat dibawa pulang dengan Rp. 3.000,- atau satu Ringgit
saja.
Roti Canai Pakcik dari Pasar Sei Pancang |
Akhir Juli waktu pemulangan kami tiba. Di spanduk posko kami sempat menuliskan kalimat penolakan "Jangan Pulangkan Kami!". Walau terkesan klise di akhir tiap cerita KKN, namun memang ada rasa berat untuk meninggalkan Pulau di ujung utara Indonesia ini. Betul kata orang, "KKN itu momen menyenangkan tapi tidak untuk diulang". Tapi kalau ada kesempatan untuk kesana lagi pasti kami sulit untuk menolaknya. Saya pribadi berjanji untuk kembali berkunjung kesana untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang sudah sangat baik kepada kami selama KKN.
Terimakasih Sebatik. Selamat Berpuasa.
Selamat berpuasa Kak Opu :) Bagus tulisannya.
BalasHapusSelamat berpuasa juga, Andis. Terimakasih telah membaca. :))
HapusHalo Wahyudin!
BalasHapusFoto sunrise di Sei Pancang nya bagus!
Sebatik emang unik. Kebetulan saya juga sempat visit ke sana pas Juli 2015 kemarin. Silakan ditengok cerita versi saya di sini:
https://steller.co/s/5cDtxnLaSPV
"It's not just about the destination, but the journey"