Selasa, 29 Desember 2015

Album Favorit 2015: Dosa Kota dan Kenangan


Bagi saya 2015 cukup memberi kabar yang cukup menggembirakan bagi kancah musik Indonesia. Sepanjang tahun ramai musisi dari berbagai genre menghasilkan karya. Tidak hanya dari muka lama, pendatang baru juga semakin tidak malu-malu lagi  untuk menunjukkan aksi mereka. Produktifitas tersebut semakin istimewa karena diimbangi dengan keberanian para musisi untuk bereksplorasi menciptakan musik yang terdengar lebih segar. Kebaruan dalam berkarya menjadi nilai yang paling berharga saya kira.

Dari sekian banyak karya tersebut, ada beberapa album yang kemudian mencuri perhatian telinga saya. dimulai dengan hentakan dari Kelompok Penerbang Roket. Trio asal Jakarta ini menjadi pendatang baru paling panas di jagat musik rock Indonesia. Komposisi mereka banyak terinspirasi dari era kejayaan musik keras Indonesia. Kelebihan lain dari Kelompok Penerbang Roket adalah produktifitas tingkat tinggi yang mereka miliki. Hanya dalam hitungan bulan mereka berhasil merilis dua buah album, Teriakan Bocah dan HAII yang merupakan proyek remake karya band legendaris Panbers.

Ada pula Stars and Rabbit yang akhirnya berhasil merampungkan album mereka yang kemudian diberi judul Constellation. Album ini berisi sekumpulan lagu cinta berlirik unik dan dibalut dengan musik folk dengan kualitas sound jempolan. Belum lagi artwork dengan tulisan tangannya yang ciamik. Penantian lama untuk duo asal Jogja ini sangat “Worth It”.

Menjelang akhir tahun penikmat musik independen tanah air dibuat terpikat oleh Barasuara, bahkan sebelum album mereka dirilis. Aksi panggung memukau dan single yang mereka bagikan cukup merebut perhatian banyak orang. Begitu keluar album mereka segera menggulung, persis seperti judulnya, Taifun. Album ini menjadi salah satu rilisan yang paling banyak dicari di tahun 2015.

Tepat di penghujung tahun ini Efek Rumah Kaca akhirnya memastikan lahirnyanya album baru mereka. Album ketiga yang berjudul Sinestesia ini menjadi rilisan yang paling diantipisasi dalam tiga tahun belakangan ini. lewat Sinestesia, Efek Rumah Kaca menapak ke level lebih lanjut dalam karir bermusik mereka. Tema yang diangkat masih seputar isu sosial dan politik keseharian. Namun kali Efek Rumah Kaca bermain dalam durasi yang tidak lazim. Keenam lagu yang ada di album ini berdurasi di atas tujuh menit. Setiap lagu adalah gabungan dari dua fragmen yang saling coba menggambarkan kontradiksi dalam sebuah tema. Lagu kesukaan saya adalah “Kuning” yang bercerita tentang ekstrimisme dalam beragama dan perdamaian dalam keragaman.

Namun album favorit saya di tahun 2015 ini adalah Dosa, Kota dan Kenangan milik grup folk Silampukau. Bagi saya album ini memenuhi semua syarat untuk menjadi yang paling sering diputar. Musik folk dengan keberanian memberi variasi di beberapa bagian. Lirik yang bercerita tentang kehidupan kota Surabaya dari berbagai sudut pandang menjadi poin paling penting dari album ini. Pada akun twitter-nya, Silampukau memberikan deskripsi yang sangat pas untuk  karya-karya mereka, “lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana.”

Bagi saya, Dosa, Kota, dan Kenangan lebih dari sedekar album musik. Mendengarkannya juga seperti membaca kumpulan cerita pendek yang begitu membangun imajinasi. Silampukau sangat pintar merekam keseharian orang-orang Surabaya yang selama ini cenderung diabaikan. Mulai dari potret keputusasaan anak muda dengan keadaan, hiruk pikuk di berbagai sudut kota, sampai konflik lahan masyarakat perkotaan ditampilkan dengan apik. Suara kedua personilnya yang saling mengisi menambah ramah lagu-lagu mereka untuk diterima telinga.

Tiga lagu di album ini yang paling sering saya putar adalah “Puan Kelana”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, dan “Doa 1”. “Puan Kelana” adalah nyanyian perih seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya menuju Paris, Prancis. Ia menyayangkan mengapa sang pacar pergi, padahal “dunia punya luka yang sama”. “Lagu Rantau (Sambat Omah)” kemudian mengingatkan saya bahwa sedang jauh dari rumah. Bercerita tentang seorang perantau dengan harapan menjadi kaya di kota. Waktu kemudian menyadarkannya bahwa Ia semakin jauh dari harapannya. “Oh demi Tuhan atau demi Setan sumpah aku ingin rumah untuk pulang.” Lalu “Doa 1” semacam perpaduan antara  ratapan diri dan harapan anak indie. Musiknya tidak dibuat balada tapi dengan country yang terdengar ceria. Lagu ini juga semacam satire bagi industri televisi yang terasa semakin murahan.

Saya belum pernah mendengar sebuah album utuh dengan konsep seperti Dosa, Kota, dan Kenangan. Sebuah modal besar bagi Silampukau yang baru memperkenalkan diri ke kancah musik Indonesia.

2 komentar: