Jumat, 18 Desember 2015

Meresapi kehidupan Bahari di Tanakeke


“Setelah salat subuh kita keliling ke Bangko Tappampang nah.”

Daeng Haris hanya mengacungkan jempol tanda setuju dengan ajakan saya. Sesaat setelahnya kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Malam tak pernah berumur tua di Tanakeke. Orang-orang selalu mengakhirinya dengan tidur lelap sebelum larut datang. Ada banyak mimpi atau sekedar rutinitas yang mesti ditunaikan keesokan harinya.

***
Tanakeke adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Wilayahnya yang didominasi oleh lanskap hutan mangrove membuat kawasan ini sangat sehat bagi kehidupan beberapa biota laut. Sampai tahun 1980-an luas hutan mangrove di Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian kawasan hutan  menjadi lahan tambak secara besar-besaran. Luasan hutan mangrove berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Kini sebagian besar lahan tambak tersebut telah mati dan menyisakan permasalahan lingkungan. Dengan luasan mangrove yang tersisa, kini Tanakeke melanjutkan hidup. Alamnya masih cukup untuk memberikan penghidupan bagi masyarakat.

Kepulauan Tanakeke terdiri dari lima desa. Daratan beberapa desa akan terhubung pada saat air sedang surut. Namun pada saat pasang sebagian daratan akan terendam air, sehingga untuk berpindah dari satu desa ke desa yang lainnya harus menggunakan jalepa (kapal kecil bermotor). Hal ini menjadikan aktifitas masyarakat sangat tergantung dengan transportasi air tersebut. Setiap pagi dan sore hilir mudik nelayan, pegawai desa sampai anak sekolah adalah pemandangan yang lazim kita jumpai di perairan Tanakeke.

Jika berangkat dari Makassar, ada dua alternatif untuk mencapai Tanakeke. Pertama dari Pelabuhan Kayu Bangkoa yang berada di depan Ford Rotterdam. Tapi kapal yang berangkat dari pelabuhan ini tidak reguler sehingga kita harus memesan terlebih dahulu kepada pemiliknya. Disarankan menggunakan jalur ini jika kita berangka dalam jumlah banyak, sehingga harga sewa kapal tidak terlalu menjadi masalah. Namun jika berangkat via Makassar dirasa terlalu berat, kita dapat lewat jalur yang lebih ekonomis, yaitu Dermaga Takalar Lama di Takalar. Untuk mencapainya kita dapat menggunakan kendaraan pribadi atau dengan pete’-pete’ (angkot). Ongkos pete’-pete’ dari Pasar Sentral sampai Dermaga Takalar Lama sebesar Rp. 15.000,-. Di dermaga tersebut ada beberapa kapal laut setiap hari siap mengantar ke Tanakeke. Ongkosnya berkisar antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- per orang, tergantung desa tujuan. Bagi yang pertama kali ke Tanakeke sebaiknya menuju Desa Tompo Tana saja. selain desa ini yang paling mudah dicapai, dari titik ini kita akan lebih mudah jika ingin berkunjung ke desa atau lainnya.

***
Tidak terlalu lama setelah salat subuh Daeng Haris sudah turun ke laut untuk mempersiapkan jalepa-nya. Sebelum matahari bersinar sempurna, saya dan beberapa orang teman sudah siap untuk mengelilingi Bangko Tappampang. Bangko Tappampang adalah sebuah kawasan konservasi mangrove seluas sekitar 40 hektar. Kawasan ini lahir dari kesepakatan lima desa pada tahun 2013 atas dasar kearifan lokal yang sebenarnya telah mati. Oleh para leluhur, kawasan Bangko Tappampang dijadikan tempat mencari makan bersama (pangnganreang) oleh seluruh masyarakat yang berada di Tanakeke.

Saya sengaja merencanakan berkeliling Bangko Tappampang pada pagi hari agar bisa mendapatkan udara segar dan air laut yang masih tenang. Matahari akan mulai terik jika kita bergerak di atas pukul sembilan. Ada beberapa jalur yang bisa dilalui untuk sampai ke Bangko Tappampang. Namun saya meminta kepada Daeng Haris untuk melalui “terowongan mangrove.” Jalur ini adalah favorit saya. jajaran padat mangrove yang didominasi oleh jenis Rizophora membentuk lintasan panjang hingga terlihat seperti sebuah terowongan. Saat melalui terowongan ini lebih baik kecepatan jalepa diperlambat. Dengan begitu kita bisa merasakan kesejukannya atau lebih memperhatikan biota yang hidup di tempat tersebut.

Keluar dari Terowongan Mangrove kita langsung bisa melihat hamparan Bangko Tappampang. Pohon-pohon mangrove tumbuh sehat dan rapat di tempat ini. Selain karena tidak dimiliki secara pribadi, penetapannya sebagai kawasan konservasi semakin menegaskan Bangko Tappampang tidak bisa diganggu bahkan harus dilindungi dari kerusakan. Lewatlah di sela-selanya untuk menikmati udara segar pagi hari disana. Kita juga bisa melihat Burung Belibis dan Bangau Putih yang banyak hidup dan mencari makan di dalam kawasan. Jika sedang beruntung, kadang kala Burung Beo dan Raja Udang juga menampakkan diri.

Terowongan Mangrove

Sela-sela Kawasan Konservasi Hutan Mangrove yang tenang dan sejuk di pagi hari
Sebelum matahari terlalu menyengat kulit, sebaiknya kegiatan berkeliling Bangko Tappampang disudahi. Udara pukul sepuluh ke atas di Tanakeke sudah sangat terik. Saya mengajak teman-teman untuk beristirahat di kolong rumah. Kita bisa berinteraksi dengan masyarakat yang biasanya mengikat bibit rumput laut. Sudah beberapa tahun ini budidaya rumput laut menjadi pekerjaan utama masyarakat Tanakeke. Sejak saat itu perairan rendah disana menjadi lahan untuk membentangkan ikatan rumput laut. Botol plastik yang dijadikan pelampung menjadi pemandangan umum disana.

Sejak pagi para lelaki sudah turun ke laut untuk mengambil bibit. Bibit-bibit tersebut dibawa ke daratan untuk kemudian diikat dalam ukuran kecil oleh ibu-ibu. Pekerjaan mengikat bibit rumput laut ini biasanya dikerjakan sampai siang. Setelah selesai, bentangan bibit rumput laut lalu diturunkan lagi ke laut selama 30 sampai 45 hari. Sebelum dipanen, kebersihan bentangan tadi harus dikontrol setiap hari. Jika ada lumut atau sampah yang tersangkut harus disingkirkan dengan cara menggoyang-goyangkan tali bentangan tersebut. Begitu seterusnya sampai rumput laut dirasa cukup besar untuk dipanen. Proses selanjutnya adalah mengeringkan. Jika matahari sedang terik, dalam dua hari rumput laut sudah kering dan siap untuk di-packing di dalam karung kemudian dijual.

Sore hari di Tanakeke adalah waktu paling menyenangkan. udara yang sudah kembali sejuk memungkinkan kita untuk berkeliling desa. Dengan begitu kita bisa bercengkrama akrab dengan masyarakat atau bermain di laut bersama dengan anak-anak. Puncaknya adalah pemandangan maha menakjubkan dari proses tenggelamnya matahari di sela-sela hutan mangrove. Cahaya dari bulatan kuning besar akan memberikan efek dramatis di langit. Sedang di laut akan ramai siluet nelayan yang pulang bersama dengan terbenamnya sang surya.

Seorang petani rumput laut menurunkan bentangan bibit ke laut
Setelah diikat di tali bentangan, bibit rumput laut siap dibudidayakan
Sunset dan nelayan di Tanakeke pulang bersamaan saat petang tiba
Malam hari kami lalui dengan memancing di dermaga. Kegiatan ini menjadi salah satu aktfitas favorit pendatang di Tanakeke. Ikan seperti Baronang atau Kerapu cukup mudah didapatkan disini. hasil yang didapatkan bisa langsung dibakar di rumah warga yang kita tumpangi. Di Tanakeke tidak ada penginapan semacam resort atau vila. Tapi warga disana cukup ramah untuk menyambut para pendatang. Kita juga bisa menitipkan uang untuk dibuatkan makanan selama tinggal di sana.

***
Malam memang tak pernah berumur tua di Tanakeke. Ada begitu banyak kegiatan menyenangkan yang menanti untuk dilakukan di esok hari.

“Jadi mau kemana ki lagi besok?”


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar