“Setelah
salat subuh kita keliling ke Bangko Tappampang nah.”
Daeng Haris
hanya mengacungkan jempol tanda setuju dengan ajakan saya. Sesaat setelahnya
kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Malam
tak pernah berumur tua di Tanakeke. Orang-orang selalu mengakhirinya dengan
tidur lelap sebelum larut datang. Ada banyak mimpi atau sekedar rutinitas yang
mesti ditunaikan keesokan harinya.
***
Tanakeke
adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Kabupaten
Takalar, Sulawesi Selatan. Wilayahnya yang didominasi oleh lanskap hutan
mangrove membuat kawasan ini sangat sehat bagi kehidupan beberapa biota laut. Sampai
tahun 1980-an luas hutan mangrove di Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada
tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian kawasan hutan menjadi lahan tambak secara besar-besaran.
Luasan hutan mangrove berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar
saja saat ini. Kini sebagian besar lahan tambak tersebut telah mati dan menyisakan
permasalahan lingkungan. Dengan luasan mangrove yang tersisa, kini Tanakeke
melanjutkan hidup. Alamnya masih cukup untuk memberikan penghidupan bagi
masyarakat.
Kepulauan
Tanakeke terdiri dari lima desa. Daratan beberapa desa akan terhubung pada saat
air sedang surut. Namun pada saat pasang sebagian daratan akan terendam air,
sehingga untuk berpindah dari satu desa ke desa yang lainnya harus menggunakan jalepa (kapal kecil bermotor). Hal ini
menjadikan aktifitas masyarakat sangat tergantung dengan transportasi air tersebut.
Setiap pagi dan sore hilir mudik nelayan, pegawai desa sampai anak sekolah
adalah pemandangan yang lazim kita jumpai di perairan Tanakeke.
Jika
berangkat dari Makassar, ada dua alternatif untuk mencapai Tanakeke. Pertama
dari Pelabuhan Kayu Bangkoa yang berada di depan Ford Rotterdam. Tapi kapal
yang berangkat dari pelabuhan ini tidak reguler sehingga kita harus memesan
terlebih dahulu kepada pemiliknya. Disarankan menggunakan jalur ini jika kita
berangka dalam jumlah banyak, sehingga harga sewa kapal tidak terlalu menjadi
masalah. Namun jika berangkat via Makassar dirasa terlalu berat, kita dapat lewat
jalur yang lebih ekonomis, yaitu Dermaga Takalar Lama di Takalar. Untuk
mencapainya kita dapat menggunakan kendaraan pribadi atau dengan pete’-pete’ (angkot). Ongkos pete’-pete’ dari Pasar Sentral sampai
Dermaga Takalar Lama sebesar Rp. 15.000,-. Di dermaga tersebut ada beberapa
kapal laut setiap hari siap mengantar ke Tanakeke. Ongkosnya
berkisar antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- per orang, tergantung desa
tujuan. Bagi yang pertama kali ke Tanakeke sebaiknya menuju Desa Tompo Tana
saja. selain desa ini yang paling mudah dicapai, dari titik ini kita akan lebih
mudah jika ingin berkunjung ke desa atau lainnya.
***
Tidak terlalu
lama setelah salat subuh Daeng Haris sudah turun ke laut untuk mempersiapkan jalepa-nya. Sebelum matahari bersinar
sempurna, saya dan beberapa orang teman sudah siap untuk mengelilingi Bangko
Tappampang. Bangko Tappampang adalah sebuah kawasan konservasi mangrove
seluas sekitar 40 hektar. Kawasan ini lahir dari kesepakatan lima
desa pada tahun 2013 atas dasar kearifan lokal yang sebenarnya telah mati. Oleh
para leluhur, kawasan Bangko Tappampang dijadikan tempat mencari makan
bersama (pangnganreang) oleh seluruh
masyarakat yang berada di Tanakeke.
Saya sengaja
merencanakan berkeliling Bangko Tappampang pada pagi hari agar bisa mendapatkan
udara segar dan air laut yang masih tenang. Matahari akan mulai terik jika kita
bergerak di atas pukul sembilan. Ada beberapa jalur yang bisa dilalui untuk
sampai ke Bangko Tappampang. Namun saya meminta kepada Daeng Haris untuk
melalui “terowongan mangrove.” Jalur ini adalah favorit saya. jajaran padat
mangrove yang didominasi oleh jenis Rizophora
membentuk lintasan panjang hingga terlihat seperti sebuah terowongan. Saat
melalui terowongan ini lebih baik kecepatan jalepa
diperlambat. Dengan begitu kita bisa merasakan kesejukannya atau lebih
memperhatikan biota yang hidup di tempat tersebut.
Keluar dari
Terowongan Mangrove kita langsung bisa melihat hamparan Bangko Tappampang.
Pohon-pohon mangrove tumbuh sehat dan rapat di tempat ini. Selain karena tidak dimiliki secara pribadi, penetapannya sebagai kawasan
konservasi semakin menegaskan Bangko Tappampang tidak bisa diganggu bahkan
harus dilindungi dari kerusakan. Lewatlah di sela-selanya untuk menikmati udara
segar pagi hari disana. Kita juga bisa melihat Burung Belibis dan Bangau Putih
yang banyak hidup dan mencari makan di dalam kawasan. Jika sedang beruntung,
kadang kala Burung Beo dan Raja Udang juga menampakkan diri.
Terowongan Mangrove |
Sela-sela Kawasan Konservasi Hutan Mangrove yang tenang dan sejuk di pagi hari |
Sebelum
matahari terlalu menyengat kulit, sebaiknya kegiatan berkeliling Bangko
Tappampang disudahi. Udara pukul sepuluh ke atas di Tanakeke sudah sangat
terik. Saya mengajak teman-teman untuk beristirahat di kolong rumah. Kita bisa
berinteraksi dengan masyarakat yang biasanya mengikat bibit rumput laut. Sudah
beberapa tahun ini budidaya rumput laut menjadi pekerjaan utama
masyarakat Tanakeke. Sejak saat itu perairan rendah disana menjadi lahan
untuk membentangkan ikatan rumput laut. Botol plastik yang dijadikan pelampung
menjadi pemandangan umum disana.
Sejak pagi
para lelaki sudah turun ke laut untuk mengambil bibit. Bibit-bibit tersebut dibawa
ke daratan untuk kemudian diikat dalam ukuran kecil oleh ibu-ibu.
Pekerjaan mengikat bibit rumput laut ini biasanya dikerjakan sampai siang.
Setelah selesai, bentangan bibit rumput laut lalu diturunkan lagi
ke laut selama 30 sampai 45 hari. Sebelum dipanen, kebersihan bentangan tadi
harus dikontrol setiap hari. Jika ada lumut atau sampah yang tersangkut harus
disingkirkan dengan cara menggoyang-goyangkan tali bentangan tersebut.
Begitu seterusnya sampai rumput laut dirasa cukup besar untuk dipanen. Proses
selanjutnya adalah mengeringkan. Jika matahari sedang terik, dalam dua hari
rumput laut sudah kering dan siap untuk di-packing
di dalam karung kemudian dijual.
Sore hari di
Tanakeke adalah waktu paling menyenangkan. udara yang sudah kembali
sejuk memungkinkan kita untuk berkeliling desa. Dengan begitu kita bisa
bercengkrama akrab dengan masyarakat atau bermain di laut bersama dengan
anak-anak. Puncaknya adalah pemandangan maha menakjubkan dari proses
tenggelamnya matahari di sela-sela hutan mangrove. Cahaya dari bulatan kuning
besar akan memberikan efek dramatis di langit. Sedang di laut akan ramai siluet
nelayan yang pulang bersama dengan terbenamnya sang surya.
Seorang petani rumput laut menurunkan bentangan bibit ke laut |
Setelah diikat di tali bentangan, bibit rumput laut siap dibudidayakan |
Sunset dan nelayan di Tanakeke pulang bersamaan saat petang tiba |
Malam hari
kami lalui dengan memancing di dermaga. Kegiatan ini menjadi salah satu
aktfitas favorit pendatang di Tanakeke. Ikan seperti Baronang atau
Kerapu cukup mudah didapatkan disini. hasil yang didapatkan bisa
langsung dibakar di rumah warga yang kita tumpangi. Di Tanakeke tidak ada
penginapan semacam resort atau vila.
Tapi warga disana cukup ramah untuk menyambut para pendatang. Kita juga bisa
menitipkan uang untuk dibuatkan makanan selama tinggal di sana.
***
Malam memang
tak pernah berumur tua di Tanakeke. Ada begitu banyak kegiatan menyenangkan
yang menanti untuk dilakukan di esok hari.
“Jadi mau
kemana ki lagi besok?”
Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar