Kalau begitu, bagaimana jika kugambarkan cita-cita itu seperti ini? Kita tinggal di sebuah rumah sederhana yang berdiri di sebuah kampung permai tak jauh dari tepi sungai. Saat pagi menjelang, udara segar teman kita. Suara burung-burung dan daun yang digoyang angin setia bernada untuk kita. Mungkin sesekali hujan badai akan menerjang. Saat itu kita masih boleh bahagia. Api di tungku, teh panas dan percakapan tidak penting masih bisa menghangatkan.
Sesekali kita akan ke kota. Membeli buku atau berkunjung ke toko musik langganan. Lalu menderu di antara debu jalan dan angkutan kota. Kita singgah di fasilitas yang serba dibayar. Sebelum akhirnya pulang dengan langkah pelan.
Saat tua kita tenang. Suara adzan mengajak ke surau tiap petang. Habis itu makan malam. Bahannya tentu dari kebun sendiri. Menggarapnya selalu menjadi salah satu aktifitas kesukaan. Saban minggu kita mengunjunginya. Rutin tapi tidak pernah membosankan.
Di seberang sungai ada tanah harapan. Tidak luas tapi cukup untuk bersama. Jika mati nanti kita dimakamkan di sana. Sesekali tataplah tanah itu sembari bertanya: siapa kelak yang duluan berakhir? Kita sepakat menjawabnya; kalau boleh jangan terlalu berbeda waktu. Kita tak ingin menunggu terlalu lama untuk bertemu di kehidupan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar