Jumat, 17 Februari 2017

Pangan Hutan dan Resep Hidup Sehat Orang Asmat

Seorang perempuan Asmat sedang mencari bahan makanan di dalam hutan di sekitar kampungnya. Ketergantungan Orang Asmat terhadap pangan hutan masih cukup tinggi hingga saat ini. (Foto oleh: Regista)

Nene Yohana Bandep menyambut dengan senyum saat kami berkunjung ke rumahnya di Kampung Suwruw, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Dengan ramah, perempuan berusia 107 tahun ini menyalami kami satu-persatu. Walau semua giginya telah tanggal dimakan umur, Ia masih mampu bercerita panjang lebar soal kehidupan leluhur di masa lampau. Tujuan kami mengunjungi rumahnya adalah untuk mendokumentasikan kearifan adat Suku Asmat, terutama dalam hal pengelolaan hutan. Adat istiadat Asmat yang dilestarikan lewat tradisi lisan sangat bergantung pada ingatan orang-orang tua seperti Nene Yohana ini.

Saat Nene Yohana mulai bercerita, kami mendapati fakta atas hubungan antara Orang Asmat yang daya tahan tubuhnya cenderung kuat dengan cara mereka memanfaatkan pangan dari hutan. Sebelum agama dan pemerintah masuk ke tanah Asmat, daerah ini adalah arena pengayauan. Orang-orang saling membunuh lantas membawa pulang kepala lawan ke dalam kampung. Cara ini dilakukan untuk menunjukkan kekuatan kepada lawan dan membuktikan kepemimpinan di dalam klan sendiri. Tradisi primitif ini berlangsung di antara kampung-kampung, baik yang berada di dalam maupun luar wilayah Asmat.

Untuk melaksankan tradisi mengayau, seorang Kepala Perang dan para prajuritnya haruslah memiliki tenaga yang kuat. Guna mendapatkan fisik yang prima tersebut Orang Asmat memanfaatkan makanan dari hutan yang tumbuh sehat di kampung-kampung mereka. Tidak asal makan, mereka memilih betul makanan yang mampu memenuhi nutrisi bagi barisan Penjaga Kampung tersebut. “Orang-orang dulu tidak makan sembarangan. Kami hanya makan makanan pilihan dari hutan, seperti sagu, babi hutan, kasuari. Kalau makan itu badan jadi kuat, tidak gampang sakit,” Kata Nene Yohana dalam Bahasa Asmat. sementara itu, ada pula makanan yang pantang dimakan oleh mereka yang bertugas di medan perang. Beberapa makanan yang dianggap karu (pamali) tersebut diantaranya, Ikan Sembilang, Pisang Doaka (Pisang Gepok), Ubi Hutan, dan Karaka Merah. “Kalau makan makanan itu badan bisa jadi lemas.”

Cara pengolahan makanan yang masih sangat sederhana juga menjadi faktor terjaganya nutrisi pada pangan Orang Asmat. selain dimakan langsung, kehidupan tradisional Orang Asmat hanya mengenal dua jenis cara pengolahanan makanan, yaitu, rebus dan bakar. Tentu saat itu mereka belum mengenal bumbu-bumbu masakan yang sarat akan bahan pengawet kimia. Namun saat ini cara pengelohanan makanan sederhana tersebut masih banyak ditemui pada rumah tangga yang hidup di kampung-kampung.

Seiring masuknya para misionaris agama dan pemerintah, masa gelap di Asmat mulai berubah. Perang antar kampung dan praktik mengayau perlahan mulai ditinggalkan. Peradaban luar menyentuh, termasuk pada pola konsumsi akibat masuknya bahan makanan yang dibawa oleh pendatang. Namun ketergantungan Orang Asmat akan pangan hutan masih tetap bertahan. Walau, diakui oleh Orang Asmat sendiri, jumlah mereka yang masih bertahan dengan mencari makanan di alam sudah semakin berkurang. Kemampuan untuk mencari makan di dusun (lokasi hutan yang ditumbuhi sagu) dan sungai-sungai dirasa semakin terbatas hanya pada orang-orang tua saja. Sedangkan kaum muda yang lahir setelah masa terang datang semakin sedikit yang mewarisi kemampuan tersebut.

Berubahnya pola konsumsi pangan ini berdampak pada menurunnya kualitas kesehatan Orang Asmat. Menurut Simon Bakpe, tokoh masyarakat Kampung Suwruw, jika dibandingkan dengan zaman dulu, kini Orang Asmat di kampunnya lebih mudah sakit. Penyakit yang menyerang mereka pun semakin beragam. “Dulu penyakit itu cuma sedikit, tidak banyak macam. Kita cuma kenal sakit panas, sakit kepala, sakit perut, sama bisul. Kalau sakit, kita biasa cari obat di hutan. Di sana banyak tanaman yang bisa dipakai jadi obat,” ungkap pria paruh baya tersebut.

Sebuah keluarga sedang menjaring udang di wilayah pesisir Asmat. Hutan yang masih terjaga menyediakan bahan makanan melimpah bagi rumah tangga yang hidup di sekitar hutan Asmat. (Foto oleh: Regista)
Korelasi antara pangan hutan dan tingkat daya tahan tubuh Orang Asmat ini mungkin kurang masuk akal bagi kita. Namun penelitian ilmiah yang yang baru-baru ini dilakukan oleh CIFOR tentu dapat membantu kita dalam memahami ini. Penelitian yang dipimpin oleh ilmuan doktoral Dominic Rowland tersebut menghasilkan fakta bahwa hutan berperan penting bagi diet keluarga dan masyarakat yang tinggal di dekat hutan tropis. Fakta tersebut dihasilkan CIFOR setelah mendata konsumsi pangan masyarakat yang hidup di sekitar hutan di 37 lokasi di 24 negara tropis. Tidak main-main, riset tersebut diklaim sebagai yang pertama menggunakan metode survei terstandarisasi yang menerapkan kriteria seragam untuk mendapatkan perspektif komparatif global.

“Hutan menghasilkan seluruh jenis makanan, mulai dari siput darat hingga buah liar dan primata. Kami berfokus pada kelompok pangan bernutrisi penting yang sering kurang dalam rata-rata kandungan diet di negara-negara tersebut. Dalam kelompok pangan ini, daging, ikan, buah-buahan, dan sayuran sangat bergantung pada hutan.” Ungkap Rowland.

Hasil penelitian CIFOR ini identik dengan apa yang diungkapkan oleh Nene Yohana Bandep dan Bapak Simon Bakpe di atas. Sejarah panjang pemanfaatan pangan hutan oleh Orang Asmat membawa mereka pada generasi yang berkecukupan nutrisi dan berumur panjang. Perubahan yang kurang arif kemudian menggeser tatanan ini. Orang-orang seperti lupa untuk menghargai jasa hutan dalam menyediakan kehidupan. Demi memenuhi kebutuhan yang dirasa serba mendesak, hutan dieksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangannya. Hutan dianggap benda mati yang tidak memberi dampak apa-apa saat diganggu.

Soal menghargai jasa hutan ini, kenangan Bernat Bicimpari (45 tahun), salah satu Wair, Tetua Adat di Jew Dendew Kampung Suwruw, mungkin dapat menjadi ilustrasi bagi kita. Menurut Bernat, saat ayahnya meninggal, Ia hanya meninggalkan satu wasiat: “Jaga hutan kita.” “Waktu bapak mati dia tidak meninggalkan warisan apa-apa untuk kami. Dia cuma berpesan kepada kami untuk menjaga hutan. katanya, hutan ini sudah berjasa besar. Hutan sudah membesarkan kita. Dusun menyediakan makanan untuk kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar