Seorang perempuan Asmat sedang mencari bahan makanan di dalam hutan di
sekitar kampungnya. Ketergantungan Orang Asmat terhadap pangan hutan masih
cukup tinggi hingga saat ini. (Foto oleh: Regista)
|
Nene Yohana Bandep menyambut dengan senyum saat kami berkunjung ke
rumahnya di Kampung Suwruw, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Dengan ramah,
perempuan berusia 107 tahun ini menyalami kami satu-persatu. Walau semua
giginya telah tanggal dimakan umur, Ia masih mampu bercerita panjang lebar soal
kehidupan leluhur di masa lampau. Tujuan kami mengunjungi rumahnya adalah untuk
mendokumentasikan kearifan adat Suku Asmat, terutama dalam hal pengelolaan
hutan. Adat istiadat Asmat yang dilestarikan lewat tradisi lisan sangat
bergantung pada ingatan orang-orang tua seperti Nene Yohana ini.
Saat Nene Yohana mulai bercerita, kami mendapati fakta atas hubungan
antara Orang Asmat yang daya tahan tubuhnya cenderung kuat dengan cara mereka
memanfaatkan pangan dari hutan. Sebelum agama dan pemerintah masuk ke tanah
Asmat, daerah ini adalah arena pengayauan. Orang-orang saling membunuh lantas
membawa pulang kepala lawan ke dalam kampung. Cara ini dilakukan untuk
menunjukkan kekuatan kepada lawan dan membuktikan kepemimpinan di dalam klan
sendiri. Tradisi primitif ini
berlangsung di antara kampung-kampung, baik yang berada di dalam maupun luar
wilayah Asmat.
Untuk melaksankan tradisi mengayau, seorang Kepala Perang dan para prajuritnya
haruslah memiliki tenaga yang kuat. Guna mendapatkan fisik yang prima tersebut Orang
Asmat memanfaatkan makanan dari hutan yang tumbuh sehat di kampung-kampung
mereka. Tidak asal makan, mereka memilih betul makanan yang mampu memenuhi
nutrisi bagi barisan Penjaga Kampung tersebut. “Orang-orang dulu tidak makan
sembarangan. Kami hanya makan makanan pilihan dari hutan, seperti sagu, babi
hutan, kasuari. Kalau makan itu badan jadi kuat, tidak gampang sakit,” Kata Nene Yohana dalam Bahasa Asmat. sementara itu, ada pula makanan yang pantang
dimakan oleh mereka yang bertugas di medan perang. Beberapa makanan yang
dianggap karu (pamali) tersebut
diantaranya, Ikan Sembilang, Pisang Doaka (Pisang Gepok), Ubi Hutan, dan Karaka Merah. “Kalau
makan makanan itu badan bisa jadi lemas.”
Cara pengolahan makanan yang masih sangat sederhana juga menjadi faktor
terjaganya nutrisi pada pangan Orang Asmat. selain dimakan langsung, kehidupan
tradisional Orang Asmat hanya mengenal dua jenis cara pengolahanan makanan,
yaitu, rebus dan bakar. Tentu saat itu mereka belum mengenal bumbu-bumbu
masakan yang sarat akan bahan pengawet kimia. Namun saat ini cara pengelohanan
makanan sederhana tersebut masih banyak ditemui pada rumah tangga yang hidup di
kampung-kampung.
Seiring masuknya para misionaris agama dan pemerintah, masa gelap di
Asmat mulai berubah. Perang antar kampung dan praktik mengayau perlahan mulai
ditinggalkan. Peradaban luar menyentuh, termasuk pada pola konsumsi akibat
masuknya bahan makanan yang dibawa oleh pendatang. Namun ketergantungan Orang
Asmat akan pangan hutan masih tetap bertahan. Walau, diakui oleh Orang Asmat
sendiri, jumlah mereka yang masih bertahan dengan mencari makanan di alam sudah
semakin berkurang. Kemampuan untuk mencari makan di dusun (lokasi hutan yang
ditumbuhi sagu) dan sungai-sungai dirasa semakin terbatas hanya pada
orang-orang tua saja. Sedangkan kaum muda yang lahir setelah masa terang datang
semakin sedikit yang mewarisi kemampuan tersebut.
Berubahnya pola konsumsi pangan ini berdampak
pada menurunnya kualitas kesehatan Orang Asmat. Menurut Simon Bakpe, tokoh masyarakat
Kampung Suwruw, jika dibandingkan dengan zaman dulu, kini Orang Asmat di
kampunnya lebih mudah sakit. Penyakit yang menyerang mereka pun semakin
beragam. “Dulu penyakit itu cuma sedikit, tidak banyak macam. Kita cuma kenal
sakit panas, sakit kepala, sakit perut, sama bisul. Kalau sakit, kita biasa
cari obat di hutan. Di sana banyak tanaman yang bisa dipakai jadi obat,” ungkap
pria paruh baya tersebut.
Sebuah keluarga sedang menjaring udang di wilayah pesisir Asmat. Hutan yang masih terjaga menyediakan bahan makanan melimpah
bagi rumah tangga yang hidup di sekitar hutan Asmat. (Foto oleh: Regista)
|
Korelasi antara pangan hutan dan tingkat daya tahan tubuh Orang Asmat
ini mungkin kurang masuk akal bagi kita. Namun penelitian ilmiah yang yang baru-baru
ini dilakukan oleh CIFOR tentu dapat membantu kita dalam memahami ini. Penelitian
yang dipimpin oleh ilmuan doktoral Dominic Rowland tersebut menghasilkan fakta
bahwa hutan berperan penting bagi diet keluarga dan masyarakat yang tinggal di
dekat hutan tropis. Fakta tersebut dihasilkan CIFOR setelah mendata konsumsi
pangan masyarakat yang hidup di sekitar hutan di 37 lokasi di 24 negara tropis.
Tidak main-main, riset tersebut diklaim sebagai yang pertama menggunakan metode
survei terstandarisasi yang menerapkan kriteria seragam untuk mendapatkan
perspektif komparatif global.
“Hutan menghasilkan seluruh jenis
makanan, mulai dari siput darat hingga buah liar dan primata. Kami berfokus pada kelompok pangan bernutrisi penting yang
sering kurang dalam rata-rata kandungan diet di negara-negara tersebut. Dalam
kelompok pangan ini, daging, ikan, buah-buahan, dan sayuran sangat bergantung
pada hutan.” Ungkap Rowland.
Hasil penelitian CIFOR ini identik dengan apa yang diungkapkan oleh Nene Yohana Bandep dan Bapak Simon Bakpe di atas. Sejarah panjang pemanfaatan pangan
hutan oleh Orang Asmat membawa mereka pada generasi yang berkecukupan nutrisi
dan berumur panjang. Perubahan yang kurang arif kemudian menggeser tatanan ini.
Orang-orang seperti lupa untuk menghargai jasa hutan dalam menyediakan
kehidupan. Demi memenuhi kebutuhan yang dirasa serba mendesak, hutan
dieksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangannya. Hutan dianggap benda mati
yang tidak memberi dampak apa-apa saat diganggu.
Soal menghargai jasa hutan ini, kenangan Bernat Bicimpari (45 tahun),
salah satu Wair, Tetua Adat di Jew
Dendew Kampung Suwruw, mungkin dapat menjadi ilustrasi bagi kita. Menurut
Bernat, saat ayahnya meninggal, Ia hanya meninggalkan satu wasiat: “Jaga hutan
kita.” “Waktu bapak mati dia tidak meninggalkan warisan apa-apa untuk kami. Dia
cuma berpesan kepada kami untuk menjaga hutan. katanya, hutan ini sudah berjasa
besar. Hutan sudah membesarkan kita. Dusun menyediakan makanan untuk kita.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar