Minggu, 26 Februari 2017

Sehari di Dusun Sagu

Mama Agustina Baspit berdiri di atas pohon sagu yang baru saja ditumbangkannya. 
Melihat aktifitas memangkur sagu di hutan adalah menyaksikan tradisi yang semakin tersisih. Monopoli beras sebagai komoditi utama program ketahanan pangan membuat makanan pokok orang timur ini kian dilupakan.  Di Asmat, Papua, potensi besar ini nyaris tidak dilirik sama sekali. Ia hanya dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat yang masih menjalankan ajaran leluhur.

Rabu pagi, 22 Februari, saya bersama dua orang teman, Regis dan Wawan, sudah berada di dermaga Kampung Kaye. Hari itu kami punya janji dengan Bapak Yanuarius Ombercem untuk berkunjung ke dusun (lahan hutan) sagu milik keluarganya.

Su siap ka?” Sapa pria yang akrab dipanggil Yance tersebut.

“Iya to,” jawab Regis.

Pak Yance kemudian bergegas memanggil semua anggota keluarganya yang akan ikut serta. Sekitar pukul delapan pagi kami semua sudah siap berangkat. Rombongan berjumlah total 16 orang masuk satu per satu ke dalam perahu viber bermesin. Perahu kami sarat penumpang betul waktu itu. Perjalanan ke dusun sagu Pak Yance akan melewati dua kali milik masyarakat Kampung Syuru-Aswet-Kaye, yaitu, Kali Fambret dan Kali Ba.

Tujuan kami ke dusun sagu hari itu adalah untuk memangkur sagu yang akan dijadikan seserahan perkawinan. Seorang keponakan Pak Yance, Daniel Eraman, baru saja mempersunting seorang perempuan yang juga bersuku Asmat. Dalam adat Suku Asmat, seorang laki-laki yang baru menikah harus memberikan persembahan kepada keluarga istrinya. Persembahan tersebut haruslah sesuatu yang berharga, yaitu kapak batu dan sagu. kedua benda tersebut tidak hanya berharga namun juga mempunyai arti simbolik dalam adat Asmat. Kapak batu adalah perkakas utama Orang Asmat dalam bekerja. Sedangkan sagu merupakan makanan utama yang dipercaya memberi kehidupan. Keduanya penting sebagai bekal dalam mengarungi rumah tangga.

Dalam perjalanan kali ini pula, saya kembali menyaksikan ketangguhan perempuan atau mama-mama Asmat dalam bekerja. Dari 16 orang yang turut serta hari itu, ada sembilan orang mama-mama yang membawa semua peralatan mereka sendiri, mulai dari alat pangkur, gagar, parang, serta beberapa peranti kecil untuk menyaring sari-sari sagu. Kesemua peralatan tersebut dijinjing di dalam sebuah tas noken berbahan karung plastik.

Mama Natalia Desnam dan Mama Agustina Baspit yang duduk di dekat kami bertiga di dalam perahu menjelaskan fungsi masing-masing peralatan yang mereka bawa tersebut. “Alat pangkur ini disebut kam (dalam bahasa Asmat), dipakai untuk menghancurkan sagu. Kalau ini om (gagar, semacam tombak yang terbuat dari kayu pohon pinang) dipakai untuk memeriksa pohon sagu itu ada isi atau tidak. Ujungnya ini tidak boleh basah sampai dipakai nanti di dusun sagu. itu pamali,” jelas Mama Natalia sambil menunjukkan satu per satu peralatannya.

Mama Natalia menjelaskan fungsi masing-masing peralatan memangkur sagu yang dibawanya.
Sekitar dua puluh menit menyusuri kali, kami tiba di tujuan. Perahu kami ditambatkan di tepi kali dengan diikat di sebuah pohon bakau. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju dusun sagu. Trek menuju dusun sagu keluarga Pak Yance cukup sulit, harus melalui belukar dan lahan rawa yang basah. Jalan setapak yang telah lebih dulu dibuat sama sekali tidak mulus. Masih banyak duri dari pohon sagu yang sudah tumbang. Kami yang memakai sepatu karet masih kesulitan melalui medan ini. Kaki saya bahkan beberapa kali terbenam di lumpur karena salah berpijak. Tapi, saat melihat mama-mama Asmat, hampir tidak terlihat sama sekali kesulitan bagi mereka melalui jalanan tersebut. Padahal mereka berjalan tanpa menggunakan alas kaki sambil membawa noken berisi peralatan sangkur. Kaki telanjang mereka seperti mengolok-ngolok kaki bersepatu karet kami yang berlangkah berat sekali.

Memasuki dusun sagu, kami diajak singgah terlebih dahulu di titik tempat sakral. Daniel memberi kami bibit buah manis yang baru saja ia cabut. Semua orang yang memasuki dusun sagu tersebut harus meminta izin dengan cara meletakkan bibit buah manis di titik tempat sakral tersebut.

“Dusun ini dusun keramat. Jadi kalau mau masuk kita harus permisi,” Kata Pak Yance.

“Ini tempat moyang. Jadi harus taruh anakan buah manis di sini. Itu tandanya kita permisi sama dorang,” Mama Natalia menimpali.

Ada banyak tempat, terutama lahan hutan, yang dijadikan tempat keramat oleh Orang Asmat. tempat-tempat tersebut dipercaya sebagai lokasi yang dulunya ditempati oleh para leluhur mereka. Dalam kepercayaan Orang Asmat, lokasi keramat tidak boleh dimasuki tanpa izin pemiliknya. apalagi sampai dirusak. Melanggar aturan tersebut adalah sebuah teser, pelanggaran adat kategori berat. Hukumannya adalah kematian.

Tidak terlalu jauh dari tempat keramat, kami sudah sampai di dusun sagu yang menjadi tujuan hari itu. Sejauh mata memandang, pohon sagu mendominasi hutan tersebut. Mama Natalia, Mama Agustina, dan mama-mama yang lain mulai membagi diri menjadi tiga kelompok. Sedangkan Pak Yance bersama tiga mama-mama lainnya melanjutkan perjalanan menuju hutan yang lebih dalam. Kami tidak diizinkan ikut. Entah karena medan dianggap terlalu berat buat kami atau hutan tersebut memang terlarang untuk orang luar. “Kalian di sini saja bersama mama-mama dorang,” Kata Pak Yance sambil tersenyum kepada kami.

Mama-mama yang telah terbagi dalam tiga kelompok tadi kemudian mulai memilih pohon sagu yang dianggap sudah dapat menghasilkan tepung. Sebelum benar-benar ditebang, pohon pilihan mereka diperiksa terlebih dahulu untuk memastikan isinya. Caranya dengan menancapkan kapak dalam-dalam ke batang pohon sagu. setelah dicabut, mereka mengoles jari ke mata kapak. “Nah, pohon yang ini sudah ada isi (sagu). Ini sudah ada bekas (sari pati) sagu di kapak ni,” Mama Natalia menunjukkan kapaknya kepada kami.

Menebang pohon sagu
Setelah dipastikan berisi barulah pohon sagu benar-benar ditebang. Sekuat tenaga mama-mama Asmat mulai menancapkan kapak mereka di pohon yang bagian luarnya sangat keras tersebut. Pohon yang ditebang Mama Agustina tumbang duluan. Beberapa menit kemudian pohon sagu Mama Natalia dan mama di sebelahnya menyusul. Oleh Daniel, kami disuruh menjauh dari lokasi rebahnya pohon-pohon tersebut. Dari pola tebasan kapak, arah jatuhnya pohon sagu yang ditebang sudah bisa diperkiran.

Pohon sagu yang telah tumbang tidak lantas mempermudah pekerjaan. Proses produksi, menurut Mama Natalia, masih sangat panjang sampai dihasilkan tepung sagu. “Kalau cari sagu ini kerja banyak sekali. Kalau potong kayu bakar, kita potong, kita belah, itu gampang. Kalau namanya sagu ini, setengah mati. Untuk satu batang ini biasa kita kerja dari pagi sampai sore,” kata mama yang juga bekerja sebagai petani sayuran ini.

Gelondongan pohon sagu kemudian diidentifkasi isinya dengan menggunakan gagar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan tepung sagu terdapat di areal mana saja. Caranya mirip seperti saat pohon sagu akan ditebang: gagar ditancapkan dalam-dalam di batang pohon. Jika sari sagu nampak di mata gagar, daerah itulah yang nantinya akan dipangkur. Sebaliknya, jika sari sagu tidak terlihat, maka areal tersebut tidak akan digarap. Tentu hanya akan menghabiskan tenaga saja.

Areal di pohon sagu yang sudah diketahui mengandung tepung sagu kemudian dikuliti. Kulit pohon sagu yang sangat keras harus dibuka di salah satu sisi terlebih dahulu sebelum dipangkur. Mama Agustina langsung mengerjakan tahap ini. Sementara Mama Natalia yang lebih berumur terlihat duduk menarik napas sejenak. Bukan tanpa alasan, dua tahap dalam memproduksi sagu berikutnya, menguliti dan memangkur, adalah bagian paling berat dan memakan banyak waktu.

Mama Natalia terlihat mulai mengasah mata alat pangkurnya. Untuk mempermudah penggunaannya, piranti yang terbuat dari kayu tersebut disematkan besi pada bagian ujungnya. Besi yang melingkar dan tajam akan menghancurkan sagu lebih cepat dan halus. Setelah mata pangkur dirasa sudah cukup tajam, mama-mama mulai beraksi. Isi pohon sagu mulai dilepaskan dari batangnya kemudian dihancurkan. Untuk memangkur satu pohon sagu dibutuhkan waktu kurang lebih tiga sampai empat jam. Sungguh tahapan yang lama dan melelahkan.

Memangkur, melepaskan sari sagu dari batangnya (foto oleh Wawan)
Regis yang mencoba ikut memangkur merasakan langsung sensasi beratnya pekerjaan ini. Sari-sari sagu ternayata cukup keras untuk dilepaskan. Mama Natalia hanya tertawa melihanya. “Kalau keras itu bagus. Itu berarti tepungnya banyak.” Pantas saja mama-mama yang memangkur sagu tetap bersemangat bekerja. Ternyata semakin keras sari sagu, semakin banyak pula tepung yang akan dihasilkan.

Tepung sagu yang mulai mengendap. (Foto oleh: Regis)
Tepung sagu di dalam noken karung siap dibawa pulang. (Foto oleh: Regis)
Sementara proses memangkur sagu berlangsung, mama-mama yang lain membuat sumur kecil dan mempersiapkan peranti penyaring. air di dalam sumur tersebut kemudian didiamkan sesaat sampai menjernih. Sari sagu yang sudah hancur diletakkan di atas penyaring yang sudah dirancang sederhana dari pelepah pohon sagu. Sari sagu tersebut kemudian disiram kemudian diremas sampai menghsilkan cairan berwarna putih. Air perasan tadi mengalir menuju tempat penampungan dan dibiarkan mengendap. Tidak lama kemudian gumpalan tepung sagu mulai nampak. Voila.

Proses yang memakan waktu seharian ini tentu setimpal dengan yang dihasilkan. Satu pohon sagu dapat menghasilkan dua sampai tiga noken tepung sagu. Menurut Mama Natalia, jika dikonsumsi sendiri di dalam keluarga, hasil tersebut dapat bertahan sampai satu bulan lebih.

Sekitar pukul lima sore, terdengar suara dari arah rombongan Pak Yance. Itu tandanya aktifitas memangkur sagu hari itu harus disudahi, walaupun masih ada sari sagu yang belum disaring. Pekerjaan baru boleh dilanjutkan esok hari.

Melihat langsung proses memangkur sagu di hutan Orang Asmat adalah pengalaman yang sungguh luar biasa. Saya merasa beruntung sekali diajak untuk menyaksikan pekerjaan yang mulai ditinggalkan ini. Bisa saja tradisi turun-temurun ini akan semakin sulit ditemui pada tahun-tahun yang akan datang.


Semoga tidak demikian.

2 komentar: