Sabtu, 12 Maret 2016

Menjaga Hutan Menghidupkan Adat

Sebuah keluarga mendayung ci menuju hutan untuk mencari bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari
Pagi di Kampung Yepem diawali dengan kokok ayam dan suara burung-burung dari hutan sekitar. Bunyi-bunyian itu menjadi semacam alarm yang membangunkan penduduk. Sebelum fajar benar-benar terbit, aktifitas sudah mulai terlihat di sekeliling kampung; anak-anak mandi di sungai, nelayan mendayung atau menyalakan mesin perahunya, dan atap-atap rumah yang terbuat dari daun sagu mulai mengepulkan asap dari dapur.
 
Yepem adalah sebuah kampung yang terletak di Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Jaraknya sekitar dua puluh menit perjalanan dengan menggunakan perahu bermotor dari Kota Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Akses yang cukup dekat dengan pusat kabupaten memberi keuntungan sekaligus tantangan tersendiri bagi Kampung Yepem dalam mempertahankan adat juga hutan mereka. Dalam lansekap yang lebih luas, Suku Asmat yang tersebar di 221 kampung menghadapi tantangan serupa dengan dinamikanya masing-masing. Bagaimana mempertahankan dua unsur paling penting dalam hidup Orang Asmat di tengah pesatnya pembangunan dan semakin terbatasnya sumber daya.
 
Adat dan hutan menjadi dua hal vital dan saling bergantung dalam kehidupan Orang Asmat. Tanpa kedua unsur ini Suku Asmat tidak akan pernah ada. Atau jika keduanya rusak, tentu “Asmat” hanya akan menjadi nama mati yang kehilangan maknanya. Adat Suku Asmat tumbuh dan berkembang di hutan. Sebaliknya, kelestarian hutan terus terjaga lewat praktik ataupun ritual dalam kepercayaan Orang Asmat.
 
Dalam alam kepercayaan Orang Asmat, pohon merupakan materi pembentuk orang pertama atau leluhur mereka. Para leluhur inilah yang kemudian menghidupkan adat Suku Asmat yang bertempat di sebagian pesisir selatan Papua. Hikayat ini terus hidup dan termanisfestasi dalam kegiatan keseharian yaitu mengukir. Lewat seni ukir masyarakat Asmat terus menjaga adat yang menjadi warisan leluhur. Sebuah ukiran Asmat bukan hanya benda mati yang tanpa arti. Setiap ukiran diciptakan untuk menceritakan sebuah peristiwa atau keseharian Orang Asmat.
 
Paskalis Wakat, seorang seniman ukir dari Kampung Yepem, mengatakan kalau mengukir merupakan jalan baginya dan Orang  Asmat untuk menghormati leluhur juga alam. “hutan ini sudah sangat banyak memberi manfaat bagi kehidupan kami sejak jaman leluhur. Mengukir adalah cara kami menghormati leluhur dan hutan. Jadi kalau mengambil kayu untuk mengukir tidak boleh sembarangan. Untuk bahan baku kami memilih kayu besi dari hutan yang benar-benar sudah layak untuk diukir, agar roh-roh leluhur memberikan keberuntungan kepada kami,” ujarnya dalam sebuah diskusi yang kami lakukan beberapa waktu lalu.
 
Seorang teman penasaran lantas bertanya bagaimana masyarakat menjaga ketersedian bahan untuk mengukir jika hampir setiap hari mereka mengambilnya dari hutan. “pohon besi itu sebenarnya tumbuh alami di hutan. Asalkan tidak ditebang habis mereka akan terus ada,” terang Paskalis yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Woupits (pengukir) Kabupaten Asmat.
 
Bahan baku yang dipakai untuk mengukir memang tidak boleh sembarangan. Masih menurut Paskalis, jenisnya harus kayu besi. Jenis kayu ini dianggap yang paling kuat dan akan tahan lama setelah ukiran selesai dibuat. Usia tumbuhnya pun harus yang dirasa sudah cukup. “Ciri-cirinya itu dahan dan rantinnya sudah mulai mengering atau patah.” Jika mengambil kayu yang belum cukup umur maka akan percuma. Hasil ukiran tidak akan bertahan lama, mudah patah. “bisa-bisa ukiran itu belum selesai dikerjakan sudah rusak. Itu tandanya roh leluhur tidak senang,” katanya sambil tertawa.
 
Mengukir di Jew menjadi aktiftas harian beberapa lelaki di kampung-kampong Asmat
Selain dalam hal mengukir, persentuhan adat Orang Asmat dengan Hutan jelas terlihat dalam pembangunan sebuah Jew, rumah tradisional Suku Asmat. Bagi Orang Asmat, adanya bangunan Jew di dalam kampung adalah sebuah keharusan. “Berdiri tegaknya Jew adalah pertanda masih hidupnya adat istiadat di dalam kampung itu,” Kata Felix Owom, Kepala Kampung sekaligus Ketua Adat Kampung Syuru. Jew merupakan pusat segala kegiatan yang berkenaan dengan kehidupan sosial maupun religius Orang Asmat. Di tempat inilah berbagai permasalahan dibicarakan, mulai dari pengambilan keputusan sampai penyelesaian konflik. Semua pesta dan ritual adat Asmat juga dilaksanakan di Jew yang hampir selalu dibangun di tepi sungai.
 
Secara fisik Jew merupakan bangunan yang berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 50 hingga 80 meter. Bahan untuk membangunnya seratus persen diambil dari alam. Walau berbeda di masing-masing rumpun, pembangunan Jew sangat bergantung pada ketersedian kayu dari dalam hutan. di Kampung Yepem misalnya. Adat turunan dari leluhur mensyaratkan Jew harus terbuat dari Pow (kayu Mangrove jenis Bruguiera), Juam (Kayu Putih) dan Kayu Pit. Kayu Pit yang memiliki diameter cukup besar dipakai sebagai umpak atau tiang penyanggah. Sedangkan Pow yang merupakan bahan utama digunakan untuk menyusun rangka Jew, mulai dari lantai, dinding, sampai atap. Untuk memperkokoh bangunan, Juam dipakai sebagai rangka tengah yang melintang dari ujung kiri sampai kanan. Kesemua bahan bangunan tersebut diikat dengan menggunakan rotan, tanpa paku sama sekali. Dengan segala pengalaman dan teknik turun-temurun yang dipakai Orang Asmat, seluruh rangkaian kerangka Jew tadi akan berdiri dengan kokoh.
 
Setelah seluruh rangka Jew terbentuk, giliran lantai, dinding, dan atap yang dikerjakan. Lantai Jew memanfaatkan kulit kayu Juam yang telah dikupas sebelumnya. Konsep menggunakan semaksimal mungkin apapun yang diambil dari alam diterapkan disini. Sementara untuk dinding dan atap harus menggunakan daun sagu atau biasa disebut daun rumbia. Setelah semua proses pengerjaan tersebut selesai Jew pun siap digunakan.
 
Peresmian sebuah Jew dilaksanakan dalam sebuah ritual yang sakral sekaligus meriah. Bukan hanya masyarakat kampung yang hadir, rekan dan tamu dari luar kampung pun akan berdatangan dalam pesta tersebut. Ketua adat akan menaiki Jew baru pertama kali. Setelahnya akan ada Pesta Goyang bagi perempuan atau mama-mama. Tapi tentu laki-laki juga anak-anak pun boleh ikut bergoyang. Pesta Goyang ini adalah puncak kemeriahan peresmian Jew baru. Sebagai pelengkapnya disediakan ulat sagu sebagai penganannya. Hmm…
 
Suasana perayaan adat di depan Jew Kampung Syuru, Asmat
Dengan segala keunikannya tersebut, Asmat, baik sebagai suku juga sebagai nama sebuah wilayah, telah memesona mata dunia. Pada Februari 2011 badan pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan PBB, UNESCO, menetapkan Kabupaten Asmat sebagai salah satu situs warisan dunia. Seni mengukir Orang Asmat diakui sebagai kekayaan intelektual yang begitu unik sekaligus kaya. Harapan untuk menjadikan Asmat dikenal secara global tanpa kehilangan jati dirinya tentu telah terwujud. Hal ini pernah diungkapkan oleh Paskalis Wakat dalam sebuah wawancara dengan WWF Program Papua. “Harapan terbesar kami, Asmat menjadi internasional tanpa kehilangan kelokalannya.”
 
Namun capaian tinggi tersebut tentu bukan akhir dari upaya pelestarian budaya dan lingkungan Asmat. Keresahan kini dirasakan para tetua Orang Asmat di beberapa kampung. Diakui oleh mereka, generasi masa kini sudah mulai lupa cara leluhur memperlakukan alam. Eksploitasi hutan mulai terjadi di beberapa titik di Kabupaten Asmat. Dengan alasan mendapatkan uang, mereka rela menyewakan bahkan menjual hutan keluarga untuk ditebang secara massal oleh para pedagang dari luar daerah.
 
“Generasi sekarang sudah tidak tahu cara memanfaatkan hutan. mereka seenaknya saja merusak. Padahal rusaknya hutan adalah ancaman bagi kehidupan adat,” suara Primus Osci bergetar saat menyampaikannya dalam sebuah forum diskusi di Kampung Atsj. Primus adalah salah satu tetua adat di kampung yang kini hutannya banyak dibabat tersebut. Bukti pembalakan liar di Kampung Atsj sangat mudah dilihat. Tidak perlu masuk jauh ke dalam hutan. Cukup berdiri di tepi Kali Bets kita akan melihat sisa batangan-batangan kayu yang hanyut dibawa arus. Sungguh miris melihat kesia-siaan tersebut.
 
Dengan segala upaya dan kesadaran adat yang masih dimilikinya, para tokoh dan tetua adat Orang Asmat terus berupaya menjaga hutan. Cara mereka beragam. Selain lewat aktifitas mengukir dan pelaksanaan ritual adat di Jew, mereka memberikan pemahaman kepada anak-anak dengan bercerita tentang kearifan para leluhur. Keyakinan Orang Asmat masih sangat kuat. Tidak ada cara lain untuk tetap menghidupkan adat selain dengan menjaga hutan dari sentuhan tangan-tangan orang serakah.

Jumat, 19 Februari 2016

Jendela


kita mungkin jendela tak berengsel
di antara indahmu dan kagumku
ada pemisah yang tak terelakkan
tapi apa yang bisa menghalangi renjana?
tembok mengecil di hadapnya

Selasa, 09 Februari 2016

Pindah ke Asmat

Tugu Tangan yang menjadi pusat penanda Kota Agats, KabupatenAsmat.


Penghujung Januari lalu akhirnya saya pindah ke Asmat, setelah sebelumnya hanya berkunjung selama sepuluh hari. Pindah ke Asmat seperti membawa saya pulang ke Tarakan pada pertengahan 1990-an. Saat pertama kali datang ke Tarakan, keluarga saya memilih tinggal di sebuah kelurahan bernama Karang Rejo. Karena berada di daerah pasang surut, hampir seluruh bangunan di Karang Rejo berdiri di atas tiang-tiang pancang, termasuk juga jalan-jalan penghubungnya yang berbentuk jembatan. Memori inilah yang menjadi kesan pertama saat pertama kali sampai di Asmat.

Sampai menjelang berangkat ke Papua, Asmat masih menjadi semacam teka-teki bagi saya. Informasi tentangnya yang saya dapat masih sangat terbatas. Saya hanya tahu Asmat adalah nama salah satu suku di Papua. Saya bahkan tidak tahu ia adalah nama sebuah kabupaten. Baru saat masuk masa persiapan di Makassar dan Timika kabar tentang Asmat saya terima sedikit demi sedikit. Bahan bacaan mulai terkumpul, mulai dari artikel online sampai rancangan rencana pembangunan, dari data statistik sampai buku seperti Traveling the Asmat karya Marc Argeloo.

Kunjungan pertama ke Asmat memberikan kesan yang dalam bagi saya. Selain karena menghidupkan lagi memori masa kecil di Tarakan, saya dibuat terkagum dengan ukiran khas suku Asmat yang terdapat hampir di semua tempat. Di Agats yang merupakan ibukota kabupaten, semua gedung memasang ukiran sebagai ornament. Gedung pemerintahan, penginapan, gereja, sekolah, bahkan rumah-rumah warga pasti ada ukiran kayu. 

Saya, bersama dua teman lainnya, semakin terpesona dengan Asmat saat mengunjungi Museum Budaya dan Kemajuan Asmat. Di tempat ini pengunjung tidak hanya dapat melihat ukiran biasa, tapi semua karya terbaik maestro pengukir dari dua belas Forum Adat Rumput (FAR) Asmat. Karya-karya tersebut bisa dipajang di museum setelah meraih titel juara pada Pesta Budaya Asmat yang diselenggaran setiap tahun sejak 1981. Suasana semakin menyenangkan karena kami disambut dengan ramah sekali oleh Pak Erick Sarkol, Kepala sekaligus kurator utama museum. Karena tidak ada pengunjung lain, kami seperti mendapat pendampingan eksklusif. Pak Erick Sarkol sangat bersemangat menjelaskan semua hal tentang museum tersebut kepada kami, juga sejarah budaya mengukir suku Asmat. 

Tapi perjalanan tentu tak melulu menyenangkan. Saat akan berlayar dari Pelabuhan Poumako, Mimika menuju Agats, Asmat, dompet saya dicopet orang! Uang di dalamnya sih tidak seberapa, yang bikin celaka adalah semua dokumen penting, KTP, ATM, kartu asuransi, foto gebetan, semuanya ikut raib. Lagipula dompet tersebut adalah pemberian seorang teman akrab waktu SMA, dan belum pernah saya ganti lebih dari sepuluh tahun karena belum juga rusak. Maafkan saya, Chipa, eh Andry.

Akibat kehilangan dompet beserta isi-isinya, kehidupan dan pekerjaan jadi sedikit terganggu. Saya beruntung punya teman-teman dan rekan kerja yang sangat pengertian. Dan yang paling penting masih ada yang mau meminjamkan uang karena rekening tidak bisa diakses sama sekali di Agats ini. Terima kasih kepada Regis, Wawan, dan semua teman-teman kantor atas segala bantuannya.

Kalau ditotal, hampir sebulan sudah saya tinggal di Asmat. Selama itu saya masih terus beradaptasi, entah berapa lama sampai betul-betul membaur dengan segala kebiasaan yang ada disini. Kegiatan yang paling sering saya lakukan adalah menyapa dan bertanya kepala sebanyak-banyaknya orang. Untung di dalam Kota Agats ini saling menyapa sudah menjadi rutinitas. Paling tidak saya sudah memiliki beberapa teman akrab, selain rekan-rekan kerja tentunya.

Di kontrakan, anak-anak tetangga selalu kami ajak bermain dengan beberapa permainan yang Regis bawa dari Makassar. Permainan favorit mereka adalah ular tangga. Mungkin saking bersemangatnya, pernah mereka bermain permainan ular tangga lebih dari enam jam, dari siang sampai menjelang maghrib. Saat malam sebelum tidur kami dihibur dengan cerita mop (lelucon khas orang Papua) oleh anak-anak tersebut. Kami selalu ikut tertawa lepas, walau harus sabar mendengarkan cara berbicara mereka yang sangat cepat. Aih.
Sepertinya saya harus belajar mop untuk lebih mengakrabkan diri dengan orang-orang sekitar dan masyarakat di kampung-kampung nantinya. Hehehe.

Itu sudah. Ndormom.

Selasa, 29 Desember 2015

Album Favorit 2015: Dosa Kota dan Kenangan


Bagi saya 2015 cukup memberi kabar yang cukup menggembirakan bagi kancah musik Indonesia. Sepanjang tahun ramai musisi dari berbagai genre menghasilkan karya. Tidak hanya dari muka lama, pendatang baru juga semakin tidak malu-malu lagi  untuk menunjukkan aksi mereka. Produktifitas tersebut semakin istimewa karena diimbangi dengan keberanian para musisi untuk bereksplorasi menciptakan musik yang terdengar lebih segar. Kebaruan dalam berkarya menjadi nilai yang paling berharga saya kira.

Dari sekian banyak karya tersebut, ada beberapa album yang kemudian mencuri perhatian telinga saya. dimulai dengan hentakan dari Kelompok Penerbang Roket. Trio asal Jakarta ini menjadi pendatang baru paling panas di jagat musik rock Indonesia. Komposisi mereka banyak terinspirasi dari era kejayaan musik keras Indonesia. Kelebihan lain dari Kelompok Penerbang Roket adalah produktifitas tingkat tinggi yang mereka miliki. Hanya dalam hitungan bulan mereka berhasil merilis dua buah album, Teriakan Bocah dan HAII yang merupakan proyek remake karya band legendaris Panbers.

Ada pula Stars and Rabbit yang akhirnya berhasil merampungkan album mereka yang kemudian diberi judul Constellation. Album ini berisi sekumpulan lagu cinta berlirik unik dan dibalut dengan musik folk dengan kualitas sound jempolan. Belum lagi artwork dengan tulisan tangannya yang ciamik. Penantian lama untuk duo asal Jogja ini sangat “Worth It”.

Menjelang akhir tahun penikmat musik independen tanah air dibuat terpikat oleh Barasuara, bahkan sebelum album mereka dirilis. Aksi panggung memukau dan single yang mereka bagikan cukup merebut perhatian banyak orang. Begitu keluar album mereka segera menggulung, persis seperti judulnya, Taifun. Album ini menjadi salah satu rilisan yang paling banyak dicari di tahun 2015.

Tepat di penghujung tahun ini Efek Rumah Kaca akhirnya memastikan lahirnyanya album baru mereka. Album ketiga yang berjudul Sinestesia ini menjadi rilisan yang paling diantipisasi dalam tiga tahun belakangan ini. lewat Sinestesia, Efek Rumah Kaca menapak ke level lebih lanjut dalam karir bermusik mereka. Tema yang diangkat masih seputar isu sosial dan politik keseharian. Namun kali Efek Rumah Kaca bermain dalam durasi yang tidak lazim. Keenam lagu yang ada di album ini berdurasi di atas tujuh menit. Setiap lagu adalah gabungan dari dua fragmen yang saling coba menggambarkan kontradiksi dalam sebuah tema. Lagu kesukaan saya adalah “Kuning” yang bercerita tentang ekstrimisme dalam beragama dan perdamaian dalam keragaman.

Namun album favorit saya di tahun 2015 ini adalah Dosa, Kota dan Kenangan milik grup folk Silampukau. Bagi saya album ini memenuhi semua syarat untuk menjadi yang paling sering diputar. Musik folk dengan keberanian memberi variasi di beberapa bagian. Lirik yang bercerita tentang kehidupan kota Surabaya dari berbagai sudut pandang menjadi poin paling penting dari album ini. Pada akun twitter-nya, Silampukau memberikan deskripsi yang sangat pas untuk  karya-karya mereka, “lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana.”

Bagi saya, Dosa, Kota, dan Kenangan lebih dari sedekar album musik. Mendengarkannya juga seperti membaca kumpulan cerita pendek yang begitu membangun imajinasi. Silampukau sangat pintar merekam keseharian orang-orang Surabaya yang selama ini cenderung diabaikan. Mulai dari potret keputusasaan anak muda dengan keadaan, hiruk pikuk di berbagai sudut kota, sampai konflik lahan masyarakat perkotaan ditampilkan dengan apik. Suara kedua personilnya yang saling mengisi menambah ramah lagu-lagu mereka untuk diterima telinga.

Tiga lagu di album ini yang paling sering saya putar adalah “Puan Kelana”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, dan “Doa 1”. “Puan Kelana” adalah nyanyian perih seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya menuju Paris, Prancis. Ia menyayangkan mengapa sang pacar pergi, padahal “dunia punya luka yang sama”. “Lagu Rantau (Sambat Omah)” kemudian mengingatkan saya bahwa sedang jauh dari rumah. Bercerita tentang seorang perantau dengan harapan menjadi kaya di kota. Waktu kemudian menyadarkannya bahwa Ia semakin jauh dari harapannya. “Oh demi Tuhan atau demi Setan sumpah aku ingin rumah untuk pulang.” Lalu “Doa 1” semacam perpaduan antara  ratapan diri dan harapan anak indie. Musiknya tidak dibuat balada tapi dengan country yang terdengar ceria. Lagu ini juga semacam satire bagi industri televisi yang terasa semakin murahan.

Saya belum pernah mendengar sebuah album utuh dengan konsep seperti Dosa, Kota, dan Kenangan. Sebuah modal besar bagi Silampukau yang baru memperkenalkan diri ke kancah musik Indonesia.

Jumat, 18 Desember 2015

Meresapi kehidupan Bahari di Tanakeke


“Setelah salat subuh kita keliling ke Bangko Tappampang nah.”

Daeng Haris hanya mengacungkan jempol tanda setuju dengan ajakan saya. Sesaat setelahnya kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Malam tak pernah berumur tua di Tanakeke. Orang-orang selalu mengakhirinya dengan tidur lelap sebelum larut datang. Ada banyak mimpi atau sekedar rutinitas yang mesti ditunaikan keesokan harinya.

***
Tanakeke adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Wilayahnya yang didominasi oleh lanskap hutan mangrove membuat kawasan ini sangat sehat bagi kehidupan beberapa biota laut. Sampai tahun 1980-an luas hutan mangrove di Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian kawasan hutan  menjadi lahan tambak secara besar-besaran. Luasan hutan mangrove berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Kini sebagian besar lahan tambak tersebut telah mati dan menyisakan permasalahan lingkungan. Dengan luasan mangrove yang tersisa, kini Tanakeke melanjutkan hidup. Alamnya masih cukup untuk memberikan penghidupan bagi masyarakat.

Kepulauan Tanakeke terdiri dari lima desa. Daratan beberapa desa akan terhubung pada saat air sedang surut. Namun pada saat pasang sebagian daratan akan terendam air, sehingga untuk berpindah dari satu desa ke desa yang lainnya harus menggunakan jalepa (kapal kecil bermotor). Hal ini menjadikan aktifitas masyarakat sangat tergantung dengan transportasi air tersebut. Setiap pagi dan sore hilir mudik nelayan, pegawai desa sampai anak sekolah adalah pemandangan yang lazim kita jumpai di perairan Tanakeke.

Jika berangkat dari Makassar, ada dua alternatif untuk mencapai Tanakeke. Pertama dari Pelabuhan Kayu Bangkoa yang berada di depan Ford Rotterdam. Tapi kapal yang berangkat dari pelabuhan ini tidak reguler sehingga kita harus memesan terlebih dahulu kepada pemiliknya. Disarankan menggunakan jalur ini jika kita berangka dalam jumlah banyak, sehingga harga sewa kapal tidak terlalu menjadi masalah. Namun jika berangkat via Makassar dirasa terlalu berat, kita dapat lewat jalur yang lebih ekonomis, yaitu Dermaga Takalar Lama di Takalar. Untuk mencapainya kita dapat menggunakan kendaraan pribadi atau dengan pete’-pete’ (angkot). Ongkos pete’-pete’ dari Pasar Sentral sampai Dermaga Takalar Lama sebesar Rp. 15.000,-. Di dermaga tersebut ada beberapa kapal laut setiap hari siap mengantar ke Tanakeke. Ongkosnya berkisar antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- per orang, tergantung desa tujuan. Bagi yang pertama kali ke Tanakeke sebaiknya menuju Desa Tompo Tana saja. selain desa ini yang paling mudah dicapai, dari titik ini kita akan lebih mudah jika ingin berkunjung ke desa atau lainnya.

***
Tidak terlalu lama setelah salat subuh Daeng Haris sudah turun ke laut untuk mempersiapkan jalepa-nya. Sebelum matahari bersinar sempurna, saya dan beberapa orang teman sudah siap untuk mengelilingi Bangko Tappampang. Bangko Tappampang adalah sebuah kawasan konservasi mangrove seluas sekitar 40 hektar. Kawasan ini lahir dari kesepakatan lima desa pada tahun 2013 atas dasar kearifan lokal yang sebenarnya telah mati. Oleh para leluhur, kawasan Bangko Tappampang dijadikan tempat mencari makan bersama (pangnganreang) oleh seluruh masyarakat yang berada di Tanakeke.

Saya sengaja merencanakan berkeliling Bangko Tappampang pada pagi hari agar bisa mendapatkan udara segar dan air laut yang masih tenang. Matahari akan mulai terik jika kita bergerak di atas pukul sembilan. Ada beberapa jalur yang bisa dilalui untuk sampai ke Bangko Tappampang. Namun saya meminta kepada Daeng Haris untuk melalui “terowongan mangrove.” Jalur ini adalah favorit saya. jajaran padat mangrove yang didominasi oleh jenis Rizophora membentuk lintasan panjang hingga terlihat seperti sebuah terowongan. Saat melalui terowongan ini lebih baik kecepatan jalepa diperlambat. Dengan begitu kita bisa merasakan kesejukannya atau lebih memperhatikan biota yang hidup di tempat tersebut.

Keluar dari Terowongan Mangrove kita langsung bisa melihat hamparan Bangko Tappampang. Pohon-pohon mangrove tumbuh sehat dan rapat di tempat ini. Selain karena tidak dimiliki secara pribadi, penetapannya sebagai kawasan konservasi semakin menegaskan Bangko Tappampang tidak bisa diganggu bahkan harus dilindungi dari kerusakan. Lewatlah di sela-selanya untuk menikmati udara segar pagi hari disana. Kita juga bisa melihat Burung Belibis dan Bangau Putih yang banyak hidup dan mencari makan di dalam kawasan. Jika sedang beruntung, kadang kala Burung Beo dan Raja Udang juga menampakkan diri.

Terowongan Mangrove

Sela-sela Kawasan Konservasi Hutan Mangrove yang tenang dan sejuk di pagi hari
Sebelum matahari terlalu menyengat kulit, sebaiknya kegiatan berkeliling Bangko Tappampang disudahi. Udara pukul sepuluh ke atas di Tanakeke sudah sangat terik. Saya mengajak teman-teman untuk beristirahat di kolong rumah. Kita bisa berinteraksi dengan masyarakat yang biasanya mengikat bibit rumput laut. Sudah beberapa tahun ini budidaya rumput laut menjadi pekerjaan utama masyarakat Tanakeke. Sejak saat itu perairan rendah disana menjadi lahan untuk membentangkan ikatan rumput laut. Botol plastik yang dijadikan pelampung menjadi pemandangan umum disana.

Sejak pagi para lelaki sudah turun ke laut untuk mengambil bibit. Bibit-bibit tersebut dibawa ke daratan untuk kemudian diikat dalam ukuran kecil oleh ibu-ibu. Pekerjaan mengikat bibit rumput laut ini biasanya dikerjakan sampai siang. Setelah selesai, bentangan bibit rumput laut lalu diturunkan lagi ke laut selama 30 sampai 45 hari. Sebelum dipanen, kebersihan bentangan tadi harus dikontrol setiap hari. Jika ada lumut atau sampah yang tersangkut harus disingkirkan dengan cara menggoyang-goyangkan tali bentangan tersebut. Begitu seterusnya sampai rumput laut dirasa cukup besar untuk dipanen. Proses selanjutnya adalah mengeringkan. Jika matahari sedang terik, dalam dua hari rumput laut sudah kering dan siap untuk di-packing di dalam karung kemudian dijual.

Sore hari di Tanakeke adalah waktu paling menyenangkan. udara yang sudah kembali sejuk memungkinkan kita untuk berkeliling desa. Dengan begitu kita bisa bercengkrama akrab dengan masyarakat atau bermain di laut bersama dengan anak-anak. Puncaknya adalah pemandangan maha menakjubkan dari proses tenggelamnya matahari di sela-sela hutan mangrove. Cahaya dari bulatan kuning besar akan memberikan efek dramatis di langit. Sedang di laut akan ramai siluet nelayan yang pulang bersama dengan terbenamnya sang surya.

Seorang petani rumput laut menurunkan bentangan bibit ke laut
Setelah diikat di tali bentangan, bibit rumput laut siap dibudidayakan
Sunset dan nelayan di Tanakeke pulang bersamaan saat petang tiba
Malam hari kami lalui dengan memancing di dermaga. Kegiatan ini menjadi salah satu aktfitas favorit pendatang di Tanakeke. Ikan seperti Baronang atau Kerapu cukup mudah didapatkan disini. hasil yang didapatkan bisa langsung dibakar di rumah warga yang kita tumpangi. Di Tanakeke tidak ada penginapan semacam resort atau vila. Tapi warga disana cukup ramah untuk menyambut para pendatang. Kita juga bisa menitipkan uang untuk dibuatkan makanan selama tinggal di sana.

***
Malam memang tak pernah berumur tua di Tanakeke. Ada begitu banyak kegiatan menyenangkan yang menanti untuk dilakukan di esok hari.

“Jadi mau kemana ki lagi besok?”


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID 

Rabu, 09 Desember 2015

Mari Memasang Curiga


Ada dua peristiwa penting pada tanggal 9 Desember ini: Hari Peringatan Anti Korupsi Internasional dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) yang dilaksanakan serentak. Saya kira dua momen dalam sehari ini sangat berhubungan. Apa sebab? Mungkin data-data berikut ini bisa menjelaskannya;

Menurut catatan Kemendagri, hingga 2014 tercatat 343 Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Angka itu setara dengan 86 persen dari seluruh kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia. Angka yang sungguh fantastis. Kenyataan lainnya adalah, ternyata Pilkadal 2015 ini menujukkan ada beberapa kontestan yang diduga pernah terlibat kasus bahkan sempat menyandang status terpidana korupsi. Gila!

Memang kenyataan ini sungguh menyedihkan. Jalan reformasi yang memberikan langkah bebas kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung malah melahirkan penjahat-penjahat yang semakin canggih. Pilkadal hari ini adalah mesin yang terus memproduksi koruptor-koruptur baru yang semakin keji dan tidak tahu malu.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Kita masyarakat tentu tidak bisa terlalu jauh untuk mengintervensi  sistem Pilkadal atau cara kerja politik. Hal minimal yang bisa kita lakukan adalah mengintervensi diri kita masing-masing untuk sadar dengan konsekuensi pilihan. Saya salut dengan orang-orang yang memilih menjadi golongan putih karena merasa tidak ada calon yang sesuai denga hati nuraninya. Kita memang harus mendasarkan pilihan kita pada keyakinan kan? Jangan pernah memilih jika tidak ada calon pemimpin yang dirasa dapat mengemban tugas tersebut. Jangan sampai di hari perayaan anti korupsi sedunia ini malah jadi momen lahirnya pemimpin korup.

Hal lainnya saya kira adalah kita harus mulai mengubah cara memperlakukan kepala daerah yang terpilih nantinya. Jika selama ini kita selalu menggantungkan harapan kepada para pemimpin baru, sudah saatnya kita harus memasang rasa curiga kepada mereka. Menggantungkan harapan adalah cara usang untuk berinteraksi dengan dengan para pemimpin. Cara itu terlalu melenakan, baik bagi masyarakat untuk mengawasi juga bagi pemimpin dalam bekerja. Sebaliknya, rasa curiga akan membuat kita selalu mawas diri akan tindak tanduk para pemimpin. Pemimpin akan merasa selalu diawasi. Dengan begitu mereka akan terus berupaya untuk berbuat terbaik dan terus meningkatkan kinerjanya.

Kita tentu sudah muak dengan para Pemberi Harapan Palsu (PHP). Mari mawas diri dengan mulai memasang rasa curiga. Jadi ucapan selamat nanti juga harus berubah. Kalau dulu “Selamat datang pemimpin baru, harapan kami ada padamu” nantinya harus menjadi “Selamat datang para pemimpin baru, awas kami curiga padamu!”

Selamat Hari Anti Korupsi Internasional. Mari menghadang niat jahat koruptor.