Selasa, 04 Januari 2011

Etos Siri’ na Pacce: Solusi Krisis Kepemimpinan Indonesia

Efek globalisasi telah merubah pola hidup dan budaya masyarakat Indonesia. Mulai dari pelemahan Sumber Daya Manusia (SDM), pengikisan rasa nasionalisme hingga pergeseran pola hidup dan adat istiadat. Untuk mencegah atau merubah kembali efek globalisasi, dibutuhkan figur-figur muda yang memiliki pola pikir dan gaya kepemimpinan yang mapan. Etos siri’ na pacce adalah gaya kepemimpinan yang paling tepat diterapkan. Karena siri’ na pacce sejalan dengan budaya Indonesia yang menganut budaya ketimuran dan menjunjung tinggi asas-asas demokrasi.




"Lekas, Bangun dari tidur berkepanjangan. Menyatakan mimpimu. Cuci muka biar terlihat segar. Merapikan wajahmu.Masih ada cara menjadi besar. Memudakan tuamu. Menjelma dan menjadi Indonesia"
(Menjadi Indonesia – Efek Rumah Kaca)

Melihat dari penggalan syair lagu di atas, Indonesia adalah negara yang sedang “tidur panjang”, dalam artian Indonesia saat ini sedang terpuruk dalam segala bidang. Padahal Indonesia adalah negara dengan potensi yang sangat luar biasa. Mulai dari kekayaan alam, kekayaan budaya serta keanekaragaman suku bangsa. Dengan semua potensi tersebut seharusnya Indonesia dapat unggul dari negara-negara lain di kawasan Asia atau bahkan dunia. Namun fakta sekarang menunjukkan Indonesia adalah negara yang sangat memprihatinkan. Indonesia tidak lebih unggul dari Malaysia yang baru merdeka setelah dua belas tahun Indonesia merdeka, atau bahkan dari Singapura yang luas wilayahnya tidak lebih luas dari Pulau Tarakan yang berada di gugusan pulau-pulau kecil di Pulau Kalimantan bagian utara. Jangankan di dunia atau di Asia, di kawasan Asia Tenggara saja Indonesia masih tertinggal.

Ada beberapa hal yang menyebabkan Indonesia tidak dapat memanfaatkan potensi besarnya untuk menjadi sebuah keunggulan. Hal yang paling utama adalah masyarakat Indonesia tidak dapat menahan derasnya pengaruh negatif dari globalisasi. Hal ini membuat sumber daya manusia (SDM) menjadi lemah dalam hal intelektual maupun secara emosional. Ekspansi globalisasi yang terjadi di seluruh dunia dan efeknya sangat besar terasa di Indonesia, telah membawa perubahan yang sangat signifikan pada banyak aspek kehidupan masyarakat lokal. Indonesia yang menganut budaya ketimuran berakulturasi dengan budaya kebaratan, sehingga menghasilkan budaya yang berlainan dari kebiasaan masyarakat Indonesia dan hal ini tidak baik untuk diterapkan pada keseharian masyarakat Indonesia.

Selain itu, pengaruh globalisasi juga menyebabkan lunturnya rasa nasionalisme pada hampir seluruh masyarakat Indonesia. Rasa cinta tanah air sudah mulai terkikis dan tergantikan dengan lebih mencintai atau menyukai hal-hal yang berasal dari negara luar, terutama negara-negara barat. Masyarakat Indonesia lebih bangga menggunakan produk luar negeri daripada produk buatan negeri sendiri. Padahal jika dibandingkan, produk Indonesia tidak kalah berkualitasnya dengan produk dari negara-negara lain.

Globalisasi jugamemiliki andil besar pada berubahnya pola budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia yang heterogen. Sebelumnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menjujung tinggi rasa kebersamaan dan saling menghargai sesama. Hal ini diaplikasikan pada budaya gotong royong. Namun seiring masuknya globalisasi di Indonesia, semua itu berubah. Rasa kebersamaan perlahan menghilang dan memunculkan masyarakat yang lebih memikirkan dirinya sendiri. Komunalisme yang dulu begitu tinggi berganti dengan lahirnya sikap individualistik ciri khas dunia barat. Masyarakat Indonesia yang dulunya sangat saling menghargai dan saling menghormati kini berubah menjadi masyarakat yang beringas, suka tawuran bahkan berkelahi dengan saudaranya sendiri sesama bangsa Indonesia.

Untuk mencegah atau merubah kembali efek negatif dari globalisasi ini, dibutuhkan figur-figur muda yang memiliki gaya kepemimpinan yang baik. Karena harapan negara sesungguhnya adalah di tangan para pemudanya. Seperti kata salah seorang Proklamator Indonesia, Bung Karno, “Beri saya seribu orang tua, saya bersama mereka kiranya dapat memindah gunung. tetapi apabila saya diberi sepuluh pemuda yang bersemangat dan berapi-api, kecintaanya pada bangsa dan tanah air, tanah tumpah darahnya, saya akan dapat mengguncangkan dunia”. Bung Karno sadar betul bahwa pemuda lah sesungguhnya yang harus bergerak untuk membangun sebuah bangsa. Karena pemuda memiliki semangat yang tinggi serta visi jauh ke depan. Pertanyaannya sekarang adalah gaya kepemimpinan seperti apa yang baik untuk diterapkan di negara Indonesia yang menganut budaya ketimuran?

Etos Siri’ na Pacce
Di dalam sebuah syair sinrilik[1] ada sebuah semboyan kuno masyarakat Bugis-Makassar yang berbunyi “Takunjunga’ bangung turu’, nakugunciri’ gulingku, kualleangnga tallanga natoalia”. Syair tersebut berarti “layarku telah ku kembangkan, kemudiku telah ku pasang, ku pilih tenggelam daripada melangkah surut”. Semboyan tersebut menggambarkan betapa masyarakat Bugis-Makassar memiliki tekad dan keberanian yang begitu tinggi dalam menghadapi kehidupan. Masyarakat Bugis-Makassar dikenal sebagai orang-orang yang suka merantau atau mendatangi daerah lain dan sukses di daerah tersebut. 

Apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai pribadi yang pemberani dan tangguh? Atau apa yang membuat orang Bugis-Makassar dikenal sebagai orang yang sukses di daerah sendiri dan daerah yang didatanganginya? Jawabanya adalah etos siri’ na pace. Para pemimpin yang berasal dari tanah Bugis-Makassar menerapkan etos ini sebagai gaya kepemimpinan mereka.

Siapa yang tidak kenal dengan Sultan Hasanuddin. Beliau adalah raja Gowa XVI. Beliau dikenal sebagai seorang yang gagah berani melawan penjajah Belanda. Walaupun pada akhirnya beliau harus menyerah melalui Perjanjian Bungaya yang sangat merugikan Kerajaan Gowa saat itu.

Adapula putra Bugis-Makassar yang bernama Syech Yusuf. Walaupun putra asli Bugis-Makassar, beliau lebih dikenal sebagai penyebar agama Islam di beberapa negara seperti Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan. Bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai “salah seorang putra Afrika terbaik”.

Di era modern dikenal Bacharuddin Jusuf Habibie. Beliau adalah presiden Republik Indonesia ke-3. Beliau merupakan satu-satunya presiden yang berasal dari luar pulau Jawa. Selain dikenal sebagai presiden RI ke-3, beliau juga dikenal sebagai ilmuwan yang sangat jenius. Beliau dikenal sebagai ilmuwan dibidang konstruksi pesawat terbang dan teorinya masih digunakan hingga saat ini.

Ada juga Muhammad Jusuf Kalla. Beliau adalah adalah wakil presiden Republik Indonesia ke-10. Beliau juga dikenal sebagai tokoh perdamaian konflik di Poso dan Aceh. Dengan gaya kepemimpinan khas orang Bugis-Makassar, beliau sukses dalam karir politik serta usaha. Beliau adalah pemilik perusahaan besar Hadji Kalla Group.

Kesemua contoh tokoh di atas merupakan orang-orang yang menerapkan betul etos siri’ na pace. Zainal Abidin Farid (1983:2) membagi siri’ kedalam dua jenis:
  1. Siri’ nikapasiri’ yaitu apabila seseorang dihina atau diperlakukan diluar batas kemanusian, maka ia harus menegakkansiri’-nya. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kehormatannya yang telah dihina.
  2. Siri’ masiri’ yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan dengan segala jerih payah demi siri’ itu sendiri.
Kata yang selalu berdampingan dengan kata siri’ adalah kata pacce. Mohammad Laica Marzuki (1995)  dalam disertasinya menyebutkan bahwa pacce sebagai prinsip solidaritas dari individu Bugis Makassar dan menunjuk prinsip getteng, lempu, acca, warani (tegas, lurus, pintar, berani) sebagai empat ciri utama yang menentukan ada tidaknya Siri’[2]. Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau sesusahan individu lain dalam komunitas.

Penerapan Etos Siri’ na Pacce Saat Ini
Penetrasi besar-besaran budaya global melalui jalur globalisasi telah membawa banyak perubahan di seluruh penjuru dunia. Ditambah lagi dengan besarnya pengaruh kekuatan ekonomi (economic power) negara-negara maju. Hal ini menempatkan negara berkembang termasuk Indonesia pada posisi yang serba sulit untuk menghindarinya. Satu-satunya jalan adalah mengantisipasinya. Indonesia harus bisa meminimalisir efek negatif yang ditimbulkan dari globalisasi.

Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan sosok-sosok muda yang memiliki jiwa dan karakter yang mapan. Anak muda Indonesia yang notabene adalah pemimpin dan pemilik masa depan bangsa ini seharusnya memiliki ­siri’ na pacce dalam diri mereka. Karena, anak muda Indonesia yang sudah dijelaskan di awal, adalah anak muda yang sudah terlalu jauh dari akar budaya mereka. Mereka sudah terlalu dalam terkontaminasi oleh pengaruh negatif globalisasi. Dengan adanya siri’ na pacce, anak muda akan lebih peka merasakan segala macam persoalan yang sedang melanda Indonesia. Mereka juga akan malu melihat keadaan negaranya serta malu jika ia hanya berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa untuk bangsanya.

Pemimpin yang memiliki siri’ na pacce dalam dirinya, akan memiliki keberanian serta ketegasan, namun tetap bijaksana dalam memimpin. Pemimpin yang memegang teguh prinsip ini akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik karena mereka memiliki rasa peka terhadap lingkungan sekitar. Mereka dapat mendengarkan aspirasi orang-orang yang mereka pimpin. Hal ini sangat sejalan dengan konsep negara kita yaitu negara demokrasi.

Meskipun etos siri’ na pacce berasal dari masyarakat Bugis-Makassar, namun etos ini sangat bisa diterima secara nasional. Karena di berbagai daerah Indonesia juga terdapat etos atau pandangan hidup yang hampir sama dengan konsep siri’ na pacce. Ada wirang yang hidup di masyarakat suku Jawa, carok pada masyarakat suku Madura, pantangpada masyarakat suku di Sumatera Barat, serta jenga pada masyarakat suku di pulau Bali. Kesemua pandangan hidup dari berbagai daerah tersebut memiliki kesamaan konsep dengan siri’ na pacce, yaitu malu jika keadaan suku atau bangsa mereka tidak lebih baik dari suku atau bangsa lain. Kesemua konsep pandangan hidup tersebut menanamkan nilai-nilai luhur tentang semangat serta keberanian tanpa melupakan rasa lembut hati sebagai penyeimbangnya.


Kesimpulan
“Limai pammanjenganna matena butta lompoa. Uru-uruna punna teya nipakainga karaeng ma’gauka; makaruwanna punna taena tumangngasseng ilalang pa’rasangang lompo; makatallunna punna mangngalle soso’ gallarrang mabbicarayya; makaappa’na punna majai gau’ ilalang pa’rasangang malompoa; makalimanna punna tanakamaseang atanna karaeng ma’gauka” (ada lima sebab sehingga sebuah negeri (kerajaan besar) rusak; Pertama, kalau raja yang memerintah tidak mau diperingati; kedua, kalau tidak ada cendekiawan dalam suatu Negara besar; ketiga, kalau para hakim dan pejabat-pejabat kerajaan makan sogok; keempat, kalau terlampau banyak kejadian-kejadian besar dalam suatu negara; kelima, kalau raja tidak menyayangi rakyatnya)[3]. Itulah pesan Karaeng Pattingalloang, Perdana Menteri Gowa sekaligus Raja Tallo (1639-1653). Pesan ini sarat akan nilai siri’ na pacce. Pesan tersebut telah terlihat nyata pada negara kita Indonesia.

Harapan kita sekarang adalah pemuda dengan pandangan hidup seperti siri’ na pacce (rasa malu dan  rasa peduli sesama). Pemuda seperti ini merupakan pemimpin yang baik bagi dirinya sendiri maupun pemimpin bagi orang lain. Dengan begitu ada semangat dan keberanian dalam diri untuk terus berkarya dan bekerja bagi negara, serta tetap saling peduli dan menghargai heterogenitas budaya Indonesia.


     [1] Sinrilik adalah karya sastra Makassar yang berbentuk prosa yang cara penyampaiannya dilagukan secara berirama baik dengan menggunakan alat musik maupun tanpa alat musik.
     [2] Mohamad Laica Marzuki, Siri’ Bagian Dari Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1995), hlm. 214.
     [3] Suriadi Mappangara, Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, (Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan, 2004), hlm. 137-138.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar