Terik matahari di Kota
Agats, Kabupaten Asmat, tidak mengendurkan semangat sekelompok pelajar dari
Sekolah Satu Atap Distrik Sawaerma. Siang itu mereka akan tampil dalam
perlombaan sosio drama di Festival Beworpit-Tewerawut 2016. Saat giliran
tampil, mereka memasuki arena pertunjukan dengan tenang. Tidak ada kesan
kepanasan di kaki saat berjalan di atas lapangan yang terbuat dari papan
tersebut. Setelah memberikan salam hormat kepada dewan juri dan penonton, para
pemeran mulai mengambil posisinya masing-masing. Penampilan mereka dibuka
dengan pembacaan prolog oleh seorang siswi:
“Asmat sekarang telah berubah. Sagu sebagai
makanan pokok sejak leluhur kini sudah semakin sulit dicari. Pesta-pesta adat
yang mengagungkan pohon sagu perlahan mulai ditinggalkan. Bahkan tidak ada niat
untuk menanam kembali bibit sagu baru sebagai regenerasi pohon sagu. Lalu jika
itu hilang dan musnah dari bumi Asmat, kepada apa kita akan menggantungkan
hidup? Sudah lupakah kita terhadap pengorbanan Beworpit dalam menemukan sagu?
Bahkan dia sendiri mengorbankan dirinya untuk menjadi pohon sagu yang tumbuh di
tanah Asmat tercinta ini. Jika sudah lupa, marilah kita menyaksikan kembali kisahnya
dalam sosio drama berikut yang berjudul ‘Asal-Usul Pohon Sagu.’”
Cerita pun bergulir.
Dimulai dengan babak saat Beworpit bermimpi menemukan sebuah pohon yang
memberikannya makanan. Ia lantas penasaran dan pergi mencari dimana keberadaan
pohon yang dijumpainya dalam mimpi tersebut. Berhari-hari Ia berkelana namun
belum berhasil menemukan keberadaan pohon impiannya itu. Sampai pada suatu
hari, dalam kelelahan berjalan, kaki Beworpit tertusuk duri dari sebuah dahan
yang terjatuh. Ia pun terkejut namun langsung takjub ketika melihat pohon dari
dahan yang sudah berada di tanah tersebut. Pohon itu persis seperti yang muncul
di mimpinya beberapa waktu lalu. Beworpit yang kegirangan berlari pulang ke
kampungnya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut kepada seluruh anggota keluarganya.
Sejak saat itu pohon
berduri tersebut menjadi makanan kesukaan Beworpit dan keluarganya. Mereka
tidak pernah lagi kekurangan bahan makanan. Saat merasa lapar, secara
berkelompok mereka akan menuju pohon tersebut di dalam hutan. Mereka
mengibaratkan pohon itu seperti orang tua yang terus menyediakan makanan bagi
mereka anak-anaknya secara cuma-cuma.
Namun kemudian muncul
kekhawatiran dari dalam diri Beworpit tentang masa depan ketersediaan pohon
duri yang terus mereka tebang. Ia takut suatu saat pohon tersebut akan habis
dan berdampak pada berkurangnya bahan makanan bagi keturunannya di masa yang
akan datang. Dalam murung Beworpit terus berpikir mencari jalan keluar. Pada
suatu malam Ia pun kabur dari kampungnya untuk menuju tengah hutan. Ia terus
berjalan menuju lokasi pertama kali menemukan pohon duri yang pertama
dilihatnya di dalam mimpi.
Sementara itu para
anggota keluarga yang lainnya baru menyadari ketiadaan Beworpit beberapa hari
kemudian. Semuanya gelisah karena sang pemimpin telah menghilang entah kemana.
Mereka pun memutuskan untuk mencari Beworpit ke segala arah. Sesampainya di
tengah hutan mereka menemukan sebuah pohon berduri. Mereka terkejut karena
ternyata pohon tersebut dapat berbicara. Alangkah kagetnya mereka karena pohon berduri
tersebut adalah Beworpit yang telah mengubah dirinya. Tangisan pun pecah di
rimba tersebut. mereka sedih bukan hanya karena kehilangan seorang pemimpin,
tapi juga karena kebesaran hati Beworpit dalam mengorbankan dirinya demi
kelangsungan hidup anggota keluarga dan keturunannya.
Pohon berduri yang ada
dalam cerita tersebut kemudian dikenal sebagai pohon sagu yang menjadi makanan
pokok khas bagi orang Asmat juga masyarakat di seluruh tanah Papua. Sekolah
Satu Atap Distrik Sawaerma mengangkat kembali cerita kepahlawanan Beworpit
karena didorong oleh rasa khawatir atas pergeseran budaya yang terjadi saat ini.
Mereka ingin berpesan untuk menghargai jasa Beworpit dengan terus melestarikan
tanaman sagu agar dapat terus menjadi makanan pokok masyarakat di Kabupaten
Asmat.
“Jangan sampai hanya
karena diberi mie instan dan kopi kita menjadi kelaparan karena lahan sagu kita
sudah diambil orang,” pesan penutup dalam epilog sosio drama tersebut. Sebuah
singgungan bagi anggota masyarakat yang rela menjual tanah adat mereka kepada
pengusaha demi mendapatkan sejumlah uang. Fenomena ini sedang marak terjadi di
beberapa kampung di Kabupaten Asmat.
Heroisme Beworpit
adalah sebuah cerita tragis namun memiliki pesan yang sangat mendalam dalam
menjaga lingkungan. Cerita leluhur Orang Asmat tersebut menjadi salah satu
penampilan yang paling menarik perhatian pada Festival Beworpit-Tewerawut 2016.
Festival seni ini sendiri merupakan agenda tahunan yang pada perhelatan kali
ini telah memasuki edisi kedelapan. Diselenggerakan sejak tanggal 6 hingga 10 Juni 2016 di
Lapangan Yos Sudarso, Kota Agats. Pesertanya kebanyakan adalah pelajar dan
pemuda yang terbagi dalam grup-grup yang berasal dari berbagai kampung. Dalam
sambutannya, Bupati Kabupaten Asmat menjelaskan tujuan kegiatan ini adalah
untuk lebih memperkenalkan budaya Asmat kepada kaum muda. “Agar kebudayaan
Asmat yang sudah dikenal dunia tetap lestari dan akrab bagi generasi muda
Asmat.”
Panitia festival tahun
ini dengan sangat tepat memilih “Kebudayaan untuk Kehidupan” sebagai tema
kegiatan. Tidak kebetulan tanggal pelaksanaan festival berdekatan dengan
peringatan Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada tanggal 5 Juni yang lalu. Dengan
dipilihnya tema tersebut bukan hanya misi melestarikan budaya saja yang ditampilkan,
namun juga pesan-pesan menjaga lingkungan sebagai sumber kehidupan banyak
disampaikan pada festival tahun ini. Hal ini terbukti dari penampilan para peserta
yang selalu ada unsur alam atau menyelipkan pesan pelestarian lingkungan pada
berbagai macam lomba, mulai dari mengukir, menggambar, parade Burung
Cendrawasih, tari kreasi, sosio drama, dan menyanyi.
Selain kisah Beworpit
dari Sekolah Satu Atap Distrik Sawaerma, penampilan apik juga ditunjukkan Grup Asmat
Aites dari Kampung Syuru pada cabang lomba tari kreasi. Kelompok seni yang
dipimpin oleh Bernat Becimpari tersebut menampilkan sebuah sendra tari yang
menyajikan cerita persentuhan masyarakat Asmat dengan lingkungannya. Dengan
koreografi yang sangat dinamis Grup Asmat Aites menyajikan cerita yang mewakili
berbagai macam kegiatan keseharian, mulai dari mendayung ci (perahu tradisional Suku Asmat), menjaring ikan, memangkur sagu,
hingga berburu di hutan. Bahkan adegan berperang dengan musuh pun ditampilkan.
Kesemuanya itu membuat kreasi tari yang mereka tampilkan menjadi sangat hidup.
Nilai tambah yang
membuat Grup Asmat Aites meraih juara pertama pada cabang perlombaan ini adalah
mereka membungkus koreografi mereka yang sudah apik dengan iringan musik
tradisi Asmat. Tujuh orang pemusik dan penyanyi menyajikan alunan irama yang
mengisi gerak kesepuluh orang penari. Mereka mengatur tempo, menciptakan nuansa
gembira ataupun murung, dan menjadi penanda perpindahan gerakan. Belum lagi
busana dan make up yang mereka
gunakan sangat berwarna namun tetap pas. Kesemuanya klop dalam penampilan yang
sangat berkesan, baik estetik tari maupun pesan yang disampaikan.
Sesaat setelah keluar
dari arena perlombaan, saya menghampiri Bernat Becimpari untuk memberikan
selamat dan mengobrol soal proses kreatif mereka. Sebelumnya saya memang sudah
berkenalan dengannya dalam sebuah kegiatan penyadartahuan perlindungan sempadan
sungai di kampungnya. Bernat adalah salah satu tokoh pemuda di Kampung Syuru
yang aktif menggerakkan kegiatan kepemudaan lewat kegiatan seni di sanggar
miliknya. Ia juga merupakan guru muatan lokal di salah satu Sekolah Dasar di
Kota Agats. Oleh berbagai pihak, Ia sering diajak ke berbagai kota bahkan manca
negara untuk memperkenalkan kekayaan budaya Asmat. “Bulan Juli nanti saya akan
ke Amerika selama satu bulan untuk mempromosikan kebudayaan Asmat,” kata Bernat
dengan semangat.
Untuk penampilan yang
memukau di Festival Beworpit-Tewerawut tahun ini Bernat melatih anak asuhnya
hanya dalam waktu dua minggu. Ia membagi pemainnya dalam beberapa cabang
perlombaan dan mengawasinya masing-masing. Mata lomba yang paling Ia perhatikan
adalah tari kreasi dan parade Burung Cendrawasih. “dua lomba itu yang paling
bergengsi. Biasanyan kalau menang pada dua lomba itu kita akan diutus untuk
mewakili Asmat di festival tingkat Provinsi.”
|
Wajah tegang peserta parade Burung Cendrawasih saat menunggu giliran tampil. |
|
Unsur lingkungan kental dalam kostum para peserta festival. |
Dan memang terbukti,
Asmat Aites juga menjadi pemenang pertama dalam mata lomba parade Burung
Cendrawasih. Sebenarnya dalam lomba ini koreografi dan pesan yang ingin
disampaikan semua peserta hampir sama. Bagaimana Burung Cendrawasih yang sudah
menjadi simbol tanah Papua terancam keberadaannya akibat perburuan liar. The bird of paradise ini ditampilkan
sedang menari-nari dalam kostum yang
penuh warna. Datang kemudian seorang pemburu yang memanah kawanan burung
tersebut. salah satu burung pun mati dan nuansa musik berubah menjadi murung.
Diantara keseragaman
pempilan para peserta, Grup Asmat Aites kembali menunjukkan nilai lebihnya. Penampilan
mereka persis seperti nama yang dipakai, Aites, yang berarti kaum muda yang
tangguh dan berbakat. Tidak hanya gerakan dalam parade yang dibuat menarik tapi
juga kostum dan musik yang mereka tampilkan sangat menyatu padu dengan
keseluruhan unsur dalam parade. Saat musik mengalun cepat, semua penari
bergerak lincah. Begitupun sebaliknya. Saat musik berubah pelan penari pun
bergerak anggun, sambil memanfaatkan momen tersebut untuk meghimpun panas.
Walau bukan festival
terakbar, Bernat dan beberapa pelatih dari berbagai grup cukup serius dalam
menghadapi event ini. Bukan hanya
soal hadiah dan gengsi, lebih dari itu mereka ingin agar ragam kesenian Suku
Asmat menjadi semakin akrab di kalangan anak muda. “Hal ini (kesenian Asmat)
penting untuk diperkenalkan kepada anak-anak muda. Jangan sampai budaya kita
jadi mati karena cuma tua-tua saja yang menguasai. Anak-anak Asmat harus
meneruskan warisan leluhur ini,” kata Bernat dalam obrolan kami. “Bukan cuma
peserta yang saya ajak saja yang masih muda-muda, penonton yang datang kesini
juga banyak anak-anak Asmat. Semoga mereka terhiubur dan tertarik untuk
melestarikan kesenian ini.”
Pada festival ini pula
saya kembali menyaksikan korelasi antara pelestarian budaya dan pentingnya
menjaga alam raya. Sudah jelas bagi orang Asmat, cara terbaik untuk tetap
menghidupkan adat dan budaya mereka adalah dengan cara menjaga bumi dari
tangan-tangan serakah. Kesadaran tersebut yang kini diupayakan agar juga
tertanam pada diri kaum muda Asmat.