Sabtu, 26 September 2015

Humor yang Tidak Lucu di Kampus Merah


Sulit menjelaskan selera humor pejabat Fakultas Teknik Unhas akhir-akhir ini. Pada acara penyambutan mahasiswa baru lalu, sebuah spanduk berukuran besar terpajang di gedung Fakultas Teknik. Bukannya ucapan selamat datang, tapi adik-adik maba disambut dengan hasil scan pemberitaan sebuah harian lokal yang bertuliskan “Ngospek, 88 Mahasiwa Teknik Unhas Diskorsing.” Apa maksud dari spanduk tersebut? Saya mencoba sekuat tenaga untuk tidak berburuk sangka dalam menilai. Tapi tetap saja pemikiran yang muncul selalu itu-itu juga, spanduk ini bertujuan untuk mengancam! Tidak mungkin spanduk ini hanya pemberitahuan biasa.

Saya merasa lucu sekaligus terheran-heran saat mengetahui hal ini. Saya kira teknik propaganda seperti ini sudah menghilang sejak rezim orde baru runtuh. Ternyata cara Suharto untuk menakut-nakuti lawannya masih hidup lestari, bahkan masuk sampai ke kampus, kantong utama pendorong reformasi. Saya berpikir, tidak adakah cara lain yang lebih indah selain cara kekanak-kanakan tersebut. Bukannya lebih baik duduk bersama, ngopi atau ngeteh, lantas membicarakan titik temu. Saya kira teman-teman mahasiswa lama cuma ingin mengakrabkan diri dengan adik-adik angkatan mereka. Dapat gebetan dari situ, itu bonus lah. Terlepas dari caranya yang dianggap masih kurang pas, itu yang perlu dipikirkan bersama.

Tapi pihak Dekanat Teknik memilih berpikiran pendek: mengancam!

Tidak berapa lama kemudian, di media sosial muncul sebuah foto yang menujukkan sebuah pemberitahuan yang tidak kalah lucu-tapi-membuat-heran, kalau tidak boleh disebut absurd. Masih dari Fakultas Teknik namun kali ini tidak sebesar spanduk sebelumnya. Pengumuman tersebut hanya seukuran kertas A4, tapi dengan tujuan yang sama. Isinya, larangan masuk perpustakaan bagi mahasiswa yang berambut panjang alias gondrong. Lalu di bagian bawah tulisan tersebut ada himbaun tambahan: “KECUALI ADA IZIN DARI PIMPINAN FAKULTAS.” Alamak, orde baru nyata masih hidup di Fakultas Teknik Unhas. Tentu saya tidak perlu menjelaskan bagaimana Suharto begitu membenci manusia yang gondrong pada eranya.

Sebesar apa sih salahnya mahasiswa gondrong sampai mereka dilarang masuk perpustakaan? Apakah mereka pernah membuat kekacauang di dalamnya? Ataukah penampilan mereka mengusik konsentrasi pengunjung lain yang sedang asyik membaca? Sepertinya saya belum pernah mendengar berita semacam itu. Lantas apa? Mahasiswa gondrong itu bermoral buruk? Wah gawat sekali kalau sampai si penempel pemberitahuan tersebut sampai berpikiran seperti itu. Dimana korelasi antara rambut gondrong dan moral yang tidak baik. Munkin ada pelaku kriminal yang kebetulan berambut gondrong. Tapi kan tidak semua. Kalau mau sesat pikir ini dilanjutkan boleh dong si gondrong bilang, “pejabat koruptor yang hari ini jadi pesakitan semua rambutnya pendek dan rapi, bro.” Nah bagaimana kalau begitu?

Kalau mau mencari murid yang rambutnya seragam pendek semua, saya sarankan, mending bapak/ibu ngajar di Wirabuana saja lah.

Kita semua tentu tahu bagaimana manusia gondrong distigma begitu liar di masyarakat sejak dulu. Tapi yang saya sayangkan adalah stigma itu ikut tumbuh subur di ruang-ruang akademis. Seharusnya kampus menjadi tempat yang bebas bagi bersemainya ilmu pengetahuan. Kampus haruslah menjadi jalan raya tempat ide dan pemikiran-pemikiran berlalu lalang. Bukannya menjadi ruang ketakutan akibat ulah penguasa bermental kerdil yang kerjanya hanya mengamcam!


Mungkin Bapak/Ibu di Dekanat Teknik Unhas perlu diingatkan. Nama kampus kita ini diambil dari seorang pahlawan terbesar di Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin. Iya Sultan Hasanuddin yang gagah perkasa namun arif bijaksana itu. Dan yang paling perlu diingat, Sultan Hasanuddin itu gondrong!

Jumat, 25 September 2015

Mengerti untuk Melawan: Upaya Masyarakat Kepulauan Tanakeke Mencegah Korupsi


Banyak kasus tindak pidana korupsi yang terjadi karena ketidaktahuan, baik ketidaktahuan masyarakat tentang proses penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah, juga ketidaktahuan aparat dalam menggunakan anggaran negara. Lemahnya kapasitas pengetahuan kedua unsur ini kemungkinan disebabkan oleh rasa apatisme yang lahir dari buruknya sistem yang selama ini berjalan. Hal tersebutlah yang selama lima tahun belakangan ini ingin diubah oleh masyarakat dan aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa dengan sumber daya alam yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pulau ini juga dikenal sebagai penopang keseimbangan lingkungan pesisir Sulawesi Selatan karena memiliki kawasan bakau (mangrove) yang sangat luas. Sampai tahun 1980-an luas hutan bakau di Pulau Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian hutan bakau menjadi lahan tambak atau empang secara besar-besaran. Luasan hutan bakau Kepulauan Tanakeke berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Setelah sekitar 30 tahun berlalu, tambak-tambak yang tadinya berjaya kini menjadi lahan-lahan mati karena perubahan ekosistem dan terdegradasinya kualitas lahan. Keuntungan hanya dirasakan segelintir orang saja. Kebanyakan masyarakat Kepulauan Tanakeke masih hidup dalam kerentanan ekonomi, bahkan semakin sulit karena lingkungan mulai terganganggu. Ketidaktahuan menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan!

Belajar dari kejadian masa lalu tersebut, masyarakat juga aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke kini berbenah. Sejak tahun 2010, dengan didampingi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Oxfam Indonesia Tmur, mereka mulai membangun kembali tata kelola kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik. “Baik” dalam artian pengelolaan desa yang partisipatif, responsif gender dan pro pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Pengelolaan desa yang partisipatif penting diwujudkan agar pembangunan desa tidak dimonopoli oleh segelintir orang saja. Semua harus terlibat agar proses sumbang saran bisa berjalan efektif dan nantinya manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Penyadaran itulah yang mula-mula diberikan kepada masyarakat serta aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke. Aparat pemerintah desa dilatih tentang manajemen pengelolaan desa yang baik, masyarakat didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan. Dalam tiga tahun belakangan ini hal tersebut sudah bisa berjalan, walaupun masih perlu terus ditingkatkan.

Kini Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) di lima desa di Kepulauan Tanakeke tidak sepi lagi seperti dulu. Masyarakat diizinkan, bahkan diundang untuk datang memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa. Apalagi saat ini desa mengelola dana yang cukup besar setelah Undang-Undang Desa mulai berlaku. Masyarakat dan aparat pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan dan pengawasan penggunaan dana desa haruslah berjalan dengan baik. Jika tidak begitu, manfaat tidak akan didapatkan dan bisa saja akan terjadi penyalahgunaan anggaran.

Selain itu perspektif pembangunan desa yang lebih peka gender juga sudah mulai terlihat. Misalnya pembangunan beberapa fasilitas umum diharuskan memenuhi kebutuhan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Dorongan untuk menyekolahkan anak minimal hingga SMA terus dilakukan di semua desa. Bahkan di Desa Maccini Baji dan Desa Tompo Tana, aparat pemerintah desa melarang perkawinan di bawah umur untuk menghindarkan anak-anak pada dampak buruk di usia dini.

Alokasi Dana Desa yang cukup besar tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik saja, tetapi juga untuk pembangunan kapasitas masyarakat. Masyarakat yang rentan secara ekonomi diberikan pelatihan berwirausaha dengan jalan memanfaatkan potensi lokal Kepulauan Tanakeke. Hal ini dilakukan untuk melepaskan masyarakat dari praktek Punggawa-Sawi (semacam praktek rentenir yang berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan) yang sangat memberatkan masyarakat. Kesemua hal tersebut dilakukan semata untuk mendistribusikan manfaat pembangunan yang lebih adil.


Secara perlahan kini masyarakat Kepulauan Tanakeke terus membangun kapasitas pengetahuan tentang pengelolaan desa mereka. Karena pengetahuan adalah gerbang menuju kesejahteraan dan portal penghalang bagi terjadinya penyalahgunaan dan tindak pidana korupsi.

Kamis, 02 Juli 2015

Ramadhan di Laut

Di Pulau Tanakeke, mungkin juga pada masyarakat pesisir pada umumnya, hampir tidak ada perubahan rutinitas yang berarti pada bulan Ramadhan. Aktifitas masih dimulai sejak setelah salat subuh hingga matahari terbenam. Kegiatan di laut pada siang hari juga masih dilakukan. Tenaga dan semangat bekerja mereka seperti tidak berkurang sama sekali di kala puasa ini.

Pencari kepiting dan udang di sela-sela pohon mangrove dengan menggunakan lepa-lepa (kapal kecil tanpa mesin, hanya menggunakan layar terpal). Teknik yang digunakan adalah dengan cara tado' (menjerat dengan tali tasi).

Pencari ikan ini sedang memukul-mukul air laut untuk menggiring ikan menuju jala yang telah mereka pasang terlebih dahulu. Ikan ketakutan, berenang menuju jala, hap! Ikan terjerat dan siap dibawa pulang.

Setelah diikat, rumput laut siap dibawa ke lahan penanaman. Lahan rumput laut biasanya terletak di antara laut dangkal dan laut dalam. Yang harus dipastikan adalah rumput laut tetap terendam saat air laut sedang surut.

Anak-anak ini tetap bermain di tepi lahan mangrove. Biasanya sambil bermain mereka membawa alat tangkap sederhana. Jika melihat ikan, udang atau kepiting, mereka dengan cekatan menangkapnya. Kan lumayan, bermain sambil menambah persedian makan malam. Hehehe.




Minggu, 21 Juni 2015

Ramadhan di Pulau Sebatik

Atri, Saya, Cheper, dan Tajrim di posko Kecamatan Sebatik Utara.

Marhaban Yaa Ramadhan. Selamat menjalankan ibadah puasa kepada teman-teman yang melaksanakan.

Mumpung lagi bulan Ramadhan, Saya ingin mengenang masa KKN (Kuliah Kerja Nyata) Saya yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan tiga tahun lalu di Pulau Sebatik. Ya sekalian berbagi pengalaman kepada teman-teman yang sebentar lagi akan menunaikan tugas KKN pada bulan Juni – Juli nanti lah.

Kami tiba di Pulau Sebatik pada bulan Juni, Saya lupa tanggal pastinya, setelah terombang-ambing di atas Kapal Tidar milik Pelni selama dua hari dan sempat singgah semalam di Nunukan. Saya baru tahu akan ditempatkan di Desa Sei Pancang bersama tiga teman lainnya pada saat bermalam di Nunukan. Jadi belum ada gambaran sama sekali dan serba menerka-nerka akan seperti apa daerah penempatan kami itu. Saya bernasib satu posko dengan tiga lelaki tangguh tapi tetap lucu-lucu; Tajrim dari Fakultas Ekonomi, Atri dari Fakultas Teknik, dan Rahmat Cheper (seharusnya “Ceper” tapi ditambah huruf “h” biar jadi keren katanya. Hehehe.) dari Fakultas Pertanian. Untuk angkatan pertama ini, jumlah peserta KKN Unhas di Pulau Sebatik berjumlah (hanya) dua puluh orang. Dua puluh orang ini dibagi dalam lima posko di lima Desa. Jadi masing-masing posko akan dihuni oleh empat orang peserta. Namanya juga angkatan pertama, semua serba meraba soal daerah penempatan masing-masing. Tapi malah itu yang membuat KKN ini menyenangkan karena semua hal yang dilakukan akan memberikan efek kejutan dan membawa pengalaman baru.

Kalau tidak salah ingat, kami mendapati bulan Ramadhan pada pertengahan masa KKN. Hal ini membuat persiapan berpuasa menjadi lebih enak karena kami sudah mengenal medan juga orang-orang di sekitar. Pulau Sebatik yang mayoritas penduduknya adalah pendatang yang  bersuku Bugis juga menjadi hal yang membuat proses adaptasi menjadi lebih mudah. Bahkan kami merasa seperti sedang tingal di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan saja. Selain bahasa yang sudah berakulturasi dengan bahasa Melayu Serawak, hampir semua kebiasaan khas Bugis-Makassar masih akrab disana.

Seperti kebiasaan masyarakat Bugis-Makassar, sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan masyarakat Pulau Sebatik juga mengadakan semacam syukuran yang biasa disebut sebagai Baca Doang (membaca doa). Berbagai makanan seperti sokko’ (nasi ketan), ayam kari, ayam goreng juga sup menjadi sajiannya. Kami mendapat beberapa undangan untuk singgah dari beberapa orang yang sudah kami kenal di Kantor Desa atau Kantor Kelurahan. Disini enaknya ber-KKN di desa. Masyarakat masih sangat ramah apalagi terhadap orang-orang pendatang. Kalau cuma ajakan singgah untuk makan hampir setiap hari didapat. Hehehe.

Sehari sebelum Ramadhan juga Tajrim dan Cheper mengajak untuk berbelanja kebutuhan untuk sahur. Saya dan Atri yang pengalaman dapurnya cuma sampai di sajian indomie goreng telur tentu mengiyakan saja. Beras, beberapa lauk-pauk juga sayuran menjadi pilihan. Cheper yang secara meyakinkan mengaku pandai memasak dilipih jadi tukang masak utama. Sialnya, makanan yang  biasa dibuat oleh cheff kami ini adalah masakan dengan cita rasa pedas. Sayur pedas, tempe goreng super pedas, telur dadar juga pedas. Tinggal nasi putihnya saja yang tidak pedas. Kami murka. Atri pun mengutuki Cheper subuh itu. Beruntung, lagi-lagi datang kiriman makanan dari tetangga. Yang paling rajin mengirimi kami makanan adalah Kak Badriah yang biasa dipanggil Kak Bade’. Baik pada saat sahur ataupun berbuka puasa, kami sangat sering dikirimi atau diajak makan di rumahnya yang terletak persis di depan posko kami.

Alternatif tempat sahur kami jika sedang malas memasak adalah Rumah Makan Nelayan yang sangat dekat dengan posko kami. Rumah makan ini ternyata buka sampai pagi. Menu yang disajikan serba seafood dan diolah menjadi berbagai jenis masakan; nasi goreng, mie goreng, sup, sampai tom yam. Harganya juga tidak terlalu mahal untuk ukuran mahasiswa seperti kami. Saya ingat hari terakhir di Desa Sei Pancang sebelum pemulangan kami sepakat untuk sahur di Rumah Makan Nelayan ini. mumpung waktu itu “uang hidup” yang diberikan oleh sponsor masih lumayan, subuh itu kami memesan makanan yang lebih banyak daripada sahur-sahur sebelumnya. ya semacam pesta perpisahan dengan posko lah ceritanya.

Setelah salat subuh biasanya Saya dan Tajrim tidak langsung kembali ke posko. Seperti kebiasaan sebelum masuk bulan Ramadhan, kami selalu menyempatkan ke Dermaga Sei Pancang. Kalau sedang cerah matahari terbit di dermaga ini sangat sayang untuk dilewatkan. Sebelum pukul enam pagi di ujung jembatan akan muncul sebulat kuning besar seperti ingin menghampiri kita. Pantulan cahayanya di laut membentuk segaris emas. Waktu pertama kali melihat sunrise di spot tersebut saya langsung takjub dan datang hampir setiap pagi disana. Momen ini bahkan lebih menarik daripada pemandangan Gunung Kinabalu di Tawau seberang.

Matahari terbit di Dermaga Sei Pancang, Pulau Sebatik.

Ketika matahari mulai merangkak naik, momen menarik lainnya juga penting. Sekitar pukul delapan pagi dermaga mulai ramai oleh tukang ojek yang mengantar orang-orang yang akan menyeberang ke Tawau Malaysia. Kebanyakan dari mereka pergi ke sana untuk berbelanja barang dagangan yang akan dijual kembali di Sebatik. Di dermaga ini pula saya berkenalan dengan beberapa orang yang kemudian menjadi informan kami dalam menyusun program kerja KKN. Bahkan beberapa dari mereka sudah menjadi teman akrab yang sesekali masih saya telepon untuk sekedar menanyakan kabar.

Kegiatan pada siang hari sudah kami alokasikan untuk menjalankan program kerja KKN atau membantu beberapa pekerjaan di Kantor Desa atau di Kantor Kecamatan Sebatik Utara. Kami sempat membantu orang-orang kecamatan untuk mempersiapkan Pasar Ramadhan. Selain akan digunakan sebagai tempat berjualan hidangan berbuka puasa, tempat ini juga rencananya akan dipakai sebagai tempat dilaksanakannya beberapa lomba Ramadhan. Sayang kami keburu pulang sebelum tempat tersebut benar-benar digunakan untuk kegiatan yang sudah disusun tersebut.

Masa menjelang berbuka puasa di Desa Sei Pancang adalah saat paling menyenangkan bagi saya. Apalagi kalau bukan karena hadirnya berbagai macam takjil dan hidangan berbuka puasa yang digelar di Pasar Sei Pancang. Di luar Ramadhan, pasar ini hanya buka pada pada hari Senin, Kamis dan Malam Minggu. Tapi selama Ramadhan pasar ini selalu ramai setiap harinya.

Penganan favorit saya adalah Roti Canai Pakcik. Secara penampilan, canai ini biasa saja sebenarnya. Hanya sebongkah roti tipis dengan siraman kari sapi. Sesimpel itu. Tapi soal rasa canai ini juara menurut saya. rotinya empuk dan lembut saat dikoyak. Gurihnya tipis. Ditambah kuah kari sapi, yang walaupun kaya akan bumbu tapi sangat pas di lidah. Canai yang baik bagi saya adalah perpaduan antara roti dan kuah kari yang rasanya sama-sama nyaman di lidah. Dan bagi saya Roti Canai Pakcik ini masih yang terbaik bagi saya. bonusnya adalah kita dapat melihat langsung atraksi si Pakcik saat membuat roti canainya. Bagaimana adonan roti mulai ditakar lalu dilempengkan kemudian digepengkan adalah hiburan tersendiri saat menanti pesanan kita. Harganya pun sangat murah. Sebuah roti canai dengan kuahnya dapat dibawa pulang dengan Rp. 3.000,- atau satu Ringgit saja.

Roti Canai Pakcik dari Pasar Sei Pancang

Akhir Juli waktu pemulangan kami tiba. Di spanduk posko kami sempat menuliskan kalimat penolakan "Jangan Pulangkan Kami!". Walau terkesan klise di akhir tiap cerita KKN, namun memang ada rasa berat untuk meninggalkan Pulau di ujung utara Indonesia ini. Betul kata orang, "KKN itu momen menyenangkan tapi tidak untuk diulang". Tapi kalau ada kesempatan untuk kesana lagi pasti kami sulit untuk menolaknya. Saya pribadi berjanji untuk kembali berkunjung kesana untuk bertemu kembali dengan orang-orang yang sudah sangat baik kepada kami selama KKN.

Terimakasih Sebatik. Selamat Berpuasa.

Rabu, 01 April 2015

Mati Bahagia Cara Semakbelukar


Mungkin Semakbelukar serupa penggalan puisi Chairil Anwar, “Sekali berarti, sudah itu mati”. Grup folk melayu ini menempuh jalan bubar saat musik mereka ramai dibicarakan. Album terakhir mereka, semakbelukar, diapresiasi tinggi dan diakui sebagai salah satu rilisan terbaik tahun 2013 oleh banyak pengamat. Menyusul kemudian penghargaan album terbaik ICEMA 2014 dan album terbaik versi Majalah Tempo pada tahun berikutnya.

Album semakbelukar ini memang istimewa. Bernafaskan musik melayu tradisi dengan bebunyian akordeon, gendang melayu, mandolin dan jimbana. Ia menggebrak di tengah bergairahnya musik folk tanak air. Mengubah pandangan negatif terhadap musik “Metal, Melayu Total” yang ramai satu dekade belakangan ini. “Penuh keserhanaan tanpa berusaha menjadi avant garde”, mengutip Farid Amriansyah ((AUMAN)).

Saya sendiri mendengarkan Semakbelukar secara sepotong-sepotong sejak 2011. Saya baru sempat mendengarkan mereka secara utuh pada awal tahun ini lewat album Terlahir & Terasingkan: Antologi Semakbelukar 2009-2013. Jika album terakhir mereka sebelum bubar berlabel mengagumkan, saya merasa album antologi ini lebih dari itu. Entah apa namanya, yang jelas album yang terdiri dari dua keping CD ini lebih dari sekedar mengagumkan. Magis, emosional, entahlah.

Dibuka dengan lagu-lagu dari album era Belukaria Orkestar yang penuh aura positif. Ada “Salam” sebagai pembuka, seakan mengetuk pintu para pendengar. Lalu “Awal & Akhir” dan “Lebah” yang menunjukkan sisi keislaman dalam budaya Melayu. Juga “Sejuknya Matahari” yang sangat saya sukai liriknya.

CD pertama ini kemudian dilanjutkan dengan komposisi Semakbelukar yang berada di EP Drohaka. EP yang dirilis via netlabel Yes No Wave ini berisi tiga lagu yang menjadi cinta pertama saya pada Semakbelukar; Be(re)ncana, Gita Cempala, dan Malasmarah. Be(re)ncana tersusun dari musik melayu dengan bunyi akordeon yang mengiris dan lirik juara tentang ketidaksempurnaan. Karena sempurna itu hanya sebuah rencana // Karena sempurna itu hanya sebuah bencana. Gita Cempala adalah sebuah enigma yang mengasyikkan bagi saya. Berlirik sastra melayu lama saya rasa. Sedangkan Malasmarah adalah lagu favorit yang liriknya paling sering saya kutip. Rasa marah adalah anugerah untuk kita yang berfikir // Maka marahlah kepada semua hal yang rusak dan merusak // Rasa malas adalah anugerah untuk kita yang berfikir // Maka bermalaslah untuk lakukan semua hal yang tak berguna.

Proyek solo sang vokalis David Hersya juga dimasukkan di album antologi ini. Pada bagian ini kita sangat bisa merasakan metamorfosis musikalitas seorang David Hersya yang kemudian berdampak pada Semakbelukar itu sendiri. Sempat bernuansa Jazz pada “#1” dan “Kemarin, Hari Ini dan Esok”. Lalu sound yang sangat Brit-Rock hadir pada “No Exit”. Dan yang paling mengejutkan adalah track “Out of My Face” yang terdengar punk rock liar. Kemudian hadirlah lagu cover “Renungkalah” yang teduh namun sangat emosional bagi saya. Saya sempat berkaca-kaca pada bagian ini. Lagu ini terasa seperti sebuah pengantar “pertobatan” David Hersya, paling tidak itu yang saya rasakan.

CD kedua album ini adalah rilis ulang EP self-titled yang membawa nama Semakbelukar semakin dikenal pada tahun 2013. Bagi saya bagian yang berisi delapan lagu ini memang dipersiapkan untuk sebuah kematian. Tema putus asa dan sindirin terasa pada lagu pembuka, “Seloka Beruk”. Adat diinjak budaya ternoda // Semenjak beruk menjadi pemimpin. Pada bagian lain, Halal dan haram pun dimakan // berurat berakar darah dicandu. Tema serupa juga terasa pada lagu “Celaka”.

Lain halnya dengan “Kalimat Satu”. Saya merasakan semangat perjuangan pada lirik nomor ini. Biarpun rebah tiada alasan untuk berubah // Biarpun terbuang tiada henti berjuang. Kemudian rasakan keteduhan musik Semakbelukar lewat lagu-lagu berikutnya; “Merujuk Damai”, “Berlayar di Daratan”, “Dendang Lalai”, dan “Pena Tak Bertinta”.

Album ini ditutup dengan lagi perpisahan yang menyenangkan. Lewat “Perlahan Tapi Pasti” Semakbelukar seperti ingin berkata tidak boleh ada kesedihan setelah grup ini tiada. Walaupun pada kenyataannya saya yakin banyak orang yang terharu dan merasa kehilangan. Belum berhenti // sampai saatnya nanti // ketika jiwa dan raga ini kembali pulang // takkan terulang. Lalu dilajutkan dengan Coba lakukan semua dengan ceria // coba lakukan dengan keikhlasan dan dengan rasa cinta // Perkara ini belum seberapa // perlahan kita pasti bisa. Pada bagian ini saya sangat yakin bahwa Semakbelukar mati dengan Bahagia.

Semakbelukar memang sudah tiada. Namun hikayat tentangnya pasti akan bertahan lama. Saya rasa tugas kita adalah terus merawat memori ini.

Minggu, 29 Maret 2015

Festival Anti Korupsi Makassar

Simponi di Festival Anti Korupsi MARS, berkampanye soal anti korupsi dan penghentian kekerasan terhadap perempuan lewat musik mereka

Ford Rotterdam tumpah ruah oleh manusia tadi malam. Festival Anti Korupsi penyebabnya. Festival ini diselenggarakan oleh Masyarakat Anti Korupsi Sulawesi Selatan (MARS). Hadir tokoh-tokoh yang selama ini getol menyuarakan pemberantasan korupsi seperti Qassim Mattar, Alwy Rachman, Dadang Trisasongko juga Ketua KPK non aktif, Abraham Samad. Mereka semua memberikan orasi, menyebarkan semangat anti korupsi kepada peserta festival yang didominasi oleh anak muda. Kampanye Anti Korupsi juga dilakukan oleh para pekerja seni. Teater, pembacaan puisi, pembacaan dongeng untuk anak-anak, juga pertunjukan musik. Penampil yang paling mengundang riuh tentu saja Simponi dan Robi, vokalis band Navicula, yang tampil dalam set akustik.

PANJANG UMUR PERLAWAN!