Jumat, 17 Agustus 2012

Indonesia Tanpa Kebebalan

Yang marah bila kaumnya dizalimi seharusnya juga tak diam bila kaumnya menzalimi. - Goenawan Mohamad

Hari ini Indonesia memperingati kemerdekaannya. Tepat enam puluh tujuh tahun yang lalu negara kita ini mencapai klimaks perjuangan, lepas dari penjajahan kolonialisme. Persis, di hari Jumat dan bulan Ramadhan seperti yang terjadi pada hari ini.  Tak salah kalau peringatan kemerdekaan tahun ini sungguh istimewa. Walau dibayangi oleh Lebaran yang tinggal dua hari lagi.

Namun beberapa hari yang lalu – atau beberapa minggu yang lalu, saya sempat dibuat jengkel oleh berita-berita yang sungguh menggangu bagi saya. Tak habis pikir, menjelang peringatan tujuhbelasan kok malah banyak orang-orang yang berniat memecah persatuan negara. Masih ada saja orang-orang berpikiran kerdil yang terus membesar-besarkan perbedaan. Yang paling menyedihkan, mereka melakukan itu bahkan dengan kekerasan yang mereka anggap telah didalilkan oleh agama.

Dimulai dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas) berlabel Islam (sebut saja FPI) yang ada di Makassar. Atas dasar solidaritas terhadap etnis muslim Rohingya di Myanmar, mereka mendatangi lalu melempari Klenteng Xian Ma yang terletak di Jalan Sulawesi. Ini sungguh bodoh menurut saya. Kentara sekali teman-teman FPI ini tidak mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Logika yang mendasari tindakan mereka pun salah kebablasan menuru saya.

Organisasi ini memang terkenal sebagai biang kerusuhan. Organisasi berbasis Islam yang lebih mirip geng preman. Kalau sudah begitu kenapa masih dipertahankan? Negara melalui segenap perangkat peraturannya seharusnya sudah mengambil tindakan tegas. Bubarkan!!!

Beberapa hari sebelum insiden pelemparan klenteng di Makassar tersebut, terjadi penyebaran isu SARA di sebuah mesjid di Jakarta. Pelakunya -- dengan berat hati saya katakan, Haji Rhoma Irama. Dengan maksud membela Foke untuk jadi gubernur Jakarta, si Raja Dangdut ini menghimbau masyarakat untuk tidak memilih orang kandidat tertentu. Suatu kaum haram dipimpin oleh orang dari luar kaumnya. Begitulah kira-kira anjuran Bang Oma ini.

Mungkin Rhoma Irama sudah lupa bahwa ia pernah menyanyikan sebuah lagu yang liriknya begitu menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. “Lebih dari dua ratus juta jiwa penduduk Indonesia//Terdiri dari banyak suku bangsa itulah Indonesia.” Kira-kira seperti itu lirik lagunya. Kini, entah atas dasar kepentingan apa, ia melupakan semua itu. Menjual keutuhan bangsa pun jadilah.

Belum lagi slogan “Pluralisme? Injak Saja!” yang baru-baru ini dikumandangkan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL. Saya sih tidak ada masalah dengan gerakan ini. toh saya pun bukan simpatisan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mereka tentang itu. Tapi slogan yang kalian gadang-gadang itu sungguh menyedihkan menurut saya. Apalagi maksud dari “Pluralisme? Injak saja!” itu kalau bukan “Suku-Agama-Ras-Antar golongan lain? Injak Saja!”

Pluralisme niscaya kita butuhkan untuk menyatukan Indonesia yang pluralis ini. bukannya perjuangan kemerdekaan negara kita tidak hanya dilakukan oleh satu Suku-Agama-Ras-Antar golongan saja? Sungguh payah kalau masih ada orang-orang yang terus membesar-besarkan perbedaan ditengah keindahan hidup berdampingan seperti hari ini.

Ketiga peristiwa sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia tersebut sungguh sebuah kebebalan yang masih saja terus dipelihara. Sikap yang tidak siap untuk berkembang menurut saya.

Semoga segelintir orang saja yang berpikiran seperti itu. Dan semoga penghasut dan biang keributan seperti itu segera pergi dari Indonesia.

Dirgahayu Indonesia-ku. Tetaplah utuh. Acuhkan jauh-jauh orang-orang yang ingin mengkotak-kotakkanmu. MERDEKA!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar