Yang marah bila kaumnya dizalimi seharusnya juga tak diam bila kaumnya menzalimi. - Goenawan Mohamad
Hari ini Indonesia memperingati kemerdekaannya. Tepat enam puluh tujuh tahun yang lalu negara kita ini mencapai klimaks perjuangan, lepas dari penjajahan kolonialisme. Persis, di hari Jumat dan bulan Ramadhan seperti yang terjadi pada hari ini. Tak salah kalau peringatan kemerdekaan tahun ini sungguh istimewa. Walau dibayangi oleh Lebaran yang tinggal dua hari lagi.
Namun beberapa hari yang lalu – atau beberapa minggu yang
lalu, saya sempat dibuat jengkel oleh berita-berita yang sungguh menggangu bagi
saya. Tak habis pikir, menjelang peringatan tujuhbelasan kok malah banyak
orang-orang yang berniat memecah persatuan negara. Masih ada saja orang-orang berpikiran
kerdil yang terus membesar-besarkan perbedaan. Yang paling menyedihkan, mereka
melakukan itu bahkan dengan kekerasan yang mereka anggap telah didalilkan oleh
agama.
Dimulai dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh organisasi
masyarakat (ormas) berlabel Islam (sebut saja FPI) yang ada di Makassar. Atas dasar
solidaritas terhadap etnis muslim Rohingya di Myanmar, mereka mendatangi lalu
melempari Klenteng Xian Ma yang terletak di Jalan Sulawesi. Ini sungguh bodoh
menurut saya. Kentara sekali teman-teman FPI ini tidak mengerti duduk persoalan
yang sebenarnya. Logika yang mendasari tindakan mereka pun salah kebablasan
menuru saya.
Organisasi ini memang terkenal sebagai biang kerusuhan. Organisasi
berbasis Islam yang lebih mirip geng preman. Kalau sudah begitu kenapa masih
dipertahankan? Negara melalui segenap perangkat peraturannya seharusnya sudah
mengambil tindakan tegas. Bubarkan!!!
Beberapa hari sebelum insiden pelemparan klenteng di
Makassar tersebut, terjadi penyebaran isu SARA di sebuah mesjid di Jakarta. Pelakunya
-- dengan berat hati saya katakan, Haji Rhoma Irama. Dengan maksud membela Foke
untuk jadi gubernur Jakarta, si Raja Dangdut ini menghimbau masyarakat untuk
tidak memilih orang kandidat tertentu. Suatu kaum haram dipimpin oleh orang
dari luar kaumnya. Begitulah kira-kira anjuran Bang Oma ini.
Mungkin Rhoma Irama sudah lupa bahwa ia pernah menyanyikan
sebuah lagu yang liriknya begitu menjunjung tinggi nilai-nilai pluralitas. “Lebih
dari dua ratus juta jiwa penduduk Indonesia//Terdiri dari banyak suku bangsa
itulah Indonesia.” Kira-kira seperti itu lirik lagunya. Kini, entah atas dasar
kepentingan apa, ia melupakan semua itu. Menjual keutuhan bangsa pun jadilah.
Belum lagi slogan “Pluralisme? Injak Saja!” yang baru-baru
ini dikumandangkan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL. Saya sih tidak ada masalah
dengan gerakan ini. toh saya pun bukan simpatisan JIL (Jaringan Islam Liberal)
yang mereka tentang itu. Tapi slogan yang kalian gadang-gadang itu sungguh
menyedihkan menurut saya. Apalagi maksud dari “Pluralisme? Injak saja!” itu
kalau bukan “Suku-Agama-Ras-Antar golongan lain? Injak Saja!”
Pluralisme niscaya kita butuhkan untuk menyatukan Indonesia
yang pluralis ini. bukannya perjuangan kemerdekaan negara kita tidak hanya
dilakukan oleh satu Suku-Agama-Ras-Antar golongan saja? Sungguh payah kalau
masih ada orang-orang yang terus membesar-besarkan perbedaan ditengah keindahan
hidup berdampingan seperti hari ini.
Ketiga peristiwa sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia tersebut sungguh sebuah kebebalan yang masih saja terus dipelihara. Sikap yang tidak siap untuk berkembang menurut saya.
Semoga segelintir orang saja yang berpikiran seperti itu. Dan semoga penghasut dan biang keributan seperti itu segera pergi dari Indonesia.
Dirgahayu Indonesia-ku. Tetaplah utuh. Acuhkan jauh-jauh orang-orang yang ingin mengkotak-kotakkanmu. MERDEKA!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar