Selasa, 29 Desember 2015

Album Favorit 2015: Dosa Kota dan Kenangan


Bagi saya 2015 cukup memberi kabar yang cukup menggembirakan bagi kancah musik Indonesia. Sepanjang tahun ramai musisi dari berbagai genre menghasilkan karya. Tidak hanya dari muka lama, pendatang baru juga semakin tidak malu-malu lagi  untuk menunjukkan aksi mereka. Produktifitas tersebut semakin istimewa karena diimbangi dengan keberanian para musisi untuk bereksplorasi menciptakan musik yang terdengar lebih segar. Kebaruan dalam berkarya menjadi nilai yang paling berharga saya kira.

Dari sekian banyak karya tersebut, ada beberapa album yang kemudian mencuri perhatian telinga saya. dimulai dengan hentakan dari Kelompok Penerbang Roket. Trio asal Jakarta ini menjadi pendatang baru paling panas di jagat musik rock Indonesia. Komposisi mereka banyak terinspirasi dari era kejayaan musik keras Indonesia. Kelebihan lain dari Kelompok Penerbang Roket adalah produktifitas tingkat tinggi yang mereka miliki. Hanya dalam hitungan bulan mereka berhasil merilis dua buah album, Teriakan Bocah dan HAII yang merupakan proyek remake karya band legendaris Panbers.

Ada pula Stars and Rabbit yang akhirnya berhasil merampungkan album mereka yang kemudian diberi judul Constellation. Album ini berisi sekumpulan lagu cinta berlirik unik dan dibalut dengan musik folk dengan kualitas sound jempolan. Belum lagi artwork dengan tulisan tangannya yang ciamik. Penantian lama untuk duo asal Jogja ini sangat “Worth It”.

Menjelang akhir tahun penikmat musik independen tanah air dibuat terpikat oleh Barasuara, bahkan sebelum album mereka dirilis. Aksi panggung memukau dan single yang mereka bagikan cukup merebut perhatian banyak orang. Begitu keluar album mereka segera menggulung, persis seperti judulnya, Taifun. Album ini menjadi salah satu rilisan yang paling banyak dicari di tahun 2015.

Tepat di penghujung tahun ini Efek Rumah Kaca akhirnya memastikan lahirnyanya album baru mereka. Album ketiga yang berjudul Sinestesia ini menjadi rilisan yang paling diantipisasi dalam tiga tahun belakangan ini. lewat Sinestesia, Efek Rumah Kaca menapak ke level lebih lanjut dalam karir bermusik mereka. Tema yang diangkat masih seputar isu sosial dan politik keseharian. Namun kali Efek Rumah Kaca bermain dalam durasi yang tidak lazim. Keenam lagu yang ada di album ini berdurasi di atas tujuh menit. Setiap lagu adalah gabungan dari dua fragmen yang saling coba menggambarkan kontradiksi dalam sebuah tema. Lagu kesukaan saya adalah “Kuning” yang bercerita tentang ekstrimisme dalam beragama dan perdamaian dalam keragaman.

Namun album favorit saya di tahun 2015 ini adalah Dosa, Kota dan Kenangan milik grup folk Silampukau. Bagi saya album ini memenuhi semua syarat untuk menjadi yang paling sering diputar. Musik folk dengan keberanian memberi variasi di beberapa bagian. Lirik yang bercerita tentang kehidupan kota Surabaya dari berbagai sudut pandang menjadi poin paling penting dari album ini. Pada akun twitter-nya, Silampukau memberikan deskripsi yang sangat pas untuk  karya-karya mereka, “lagu-lagu sederhana tentang orang-orang sederhana.”

Bagi saya, Dosa, Kota, dan Kenangan lebih dari sedekar album musik. Mendengarkannya juga seperti membaca kumpulan cerita pendek yang begitu membangun imajinasi. Silampukau sangat pintar merekam keseharian orang-orang Surabaya yang selama ini cenderung diabaikan. Mulai dari potret keputusasaan anak muda dengan keadaan, hiruk pikuk di berbagai sudut kota, sampai konflik lahan masyarakat perkotaan ditampilkan dengan apik. Suara kedua personilnya yang saling mengisi menambah ramah lagu-lagu mereka untuk diterima telinga.

Tiga lagu di album ini yang paling sering saya putar adalah “Puan Kelana”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, dan “Doa 1”. “Puan Kelana” adalah nyanyian perih seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya menuju Paris, Prancis. Ia menyayangkan mengapa sang pacar pergi, padahal “dunia punya luka yang sama”. “Lagu Rantau (Sambat Omah)” kemudian mengingatkan saya bahwa sedang jauh dari rumah. Bercerita tentang seorang perantau dengan harapan menjadi kaya di kota. Waktu kemudian menyadarkannya bahwa Ia semakin jauh dari harapannya. “Oh demi Tuhan atau demi Setan sumpah aku ingin rumah untuk pulang.” Lalu “Doa 1” semacam perpaduan antara  ratapan diri dan harapan anak indie. Musiknya tidak dibuat balada tapi dengan country yang terdengar ceria. Lagu ini juga semacam satire bagi industri televisi yang terasa semakin murahan.

Saya belum pernah mendengar sebuah album utuh dengan konsep seperti Dosa, Kota, dan Kenangan. Sebuah modal besar bagi Silampukau yang baru memperkenalkan diri ke kancah musik Indonesia.

Jumat, 18 Desember 2015

Meresapi kehidupan Bahari di Tanakeke


“Setelah salat subuh kita keliling ke Bangko Tappampang nah.”

Daeng Haris hanya mengacungkan jempol tanda setuju dengan ajakan saya. Sesaat setelahnya kami masuk ke rumah untuk beristirahat. Malam tak pernah berumur tua di Tanakeke. Orang-orang selalu mengakhirinya dengan tidur lelap sebelum larut datang. Ada banyak mimpi atau sekedar rutinitas yang mesti ditunaikan keesokan harinya.

***
Tanakeke adalah sebuah gugusan kepulauan yang terletak di sebelah barat Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Wilayahnya yang didominasi oleh lanskap hutan mangrove membuat kawasan ini sangat sehat bagi kehidupan beberapa biota laut. Sampai tahun 1980-an luas hutan mangrove di Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian kawasan hutan  menjadi lahan tambak secara besar-besaran. Luasan hutan mangrove berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Kini sebagian besar lahan tambak tersebut telah mati dan menyisakan permasalahan lingkungan. Dengan luasan mangrove yang tersisa, kini Tanakeke melanjutkan hidup. Alamnya masih cukup untuk memberikan penghidupan bagi masyarakat.

Kepulauan Tanakeke terdiri dari lima desa. Daratan beberapa desa akan terhubung pada saat air sedang surut. Namun pada saat pasang sebagian daratan akan terendam air, sehingga untuk berpindah dari satu desa ke desa yang lainnya harus menggunakan jalepa (kapal kecil bermotor). Hal ini menjadikan aktifitas masyarakat sangat tergantung dengan transportasi air tersebut. Setiap pagi dan sore hilir mudik nelayan, pegawai desa sampai anak sekolah adalah pemandangan yang lazim kita jumpai di perairan Tanakeke.

Jika berangkat dari Makassar, ada dua alternatif untuk mencapai Tanakeke. Pertama dari Pelabuhan Kayu Bangkoa yang berada di depan Ford Rotterdam. Tapi kapal yang berangkat dari pelabuhan ini tidak reguler sehingga kita harus memesan terlebih dahulu kepada pemiliknya. Disarankan menggunakan jalur ini jika kita berangka dalam jumlah banyak, sehingga harga sewa kapal tidak terlalu menjadi masalah. Namun jika berangkat via Makassar dirasa terlalu berat, kita dapat lewat jalur yang lebih ekonomis, yaitu Dermaga Takalar Lama di Takalar. Untuk mencapainya kita dapat menggunakan kendaraan pribadi atau dengan pete’-pete’ (angkot). Ongkos pete’-pete’ dari Pasar Sentral sampai Dermaga Takalar Lama sebesar Rp. 15.000,-. Di dermaga tersebut ada beberapa kapal laut setiap hari siap mengantar ke Tanakeke. Ongkosnya berkisar antara Rp. 10.000,- sampai Rp. 20.000,- per orang, tergantung desa tujuan. Bagi yang pertama kali ke Tanakeke sebaiknya menuju Desa Tompo Tana saja. selain desa ini yang paling mudah dicapai, dari titik ini kita akan lebih mudah jika ingin berkunjung ke desa atau lainnya.

***
Tidak terlalu lama setelah salat subuh Daeng Haris sudah turun ke laut untuk mempersiapkan jalepa-nya. Sebelum matahari bersinar sempurna, saya dan beberapa orang teman sudah siap untuk mengelilingi Bangko Tappampang. Bangko Tappampang adalah sebuah kawasan konservasi mangrove seluas sekitar 40 hektar. Kawasan ini lahir dari kesepakatan lima desa pada tahun 2013 atas dasar kearifan lokal yang sebenarnya telah mati. Oleh para leluhur, kawasan Bangko Tappampang dijadikan tempat mencari makan bersama (pangnganreang) oleh seluruh masyarakat yang berada di Tanakeke.

Saya sengaja merencanakan berkeliling Bangko Tappampang pada pagi hari agar bisa mendapatkan udara segar dan air laut yang masih tenang. Matahari akan mulai terik jika kita bergerak di atas pukul sembilan. Ada beberapa jalur yang bisa dilalui untuk sampai ke Bangko Tappampang. Namun saya meminta kepada Daeng Haris untuk melalui “terowongan mangrove.” Jalur ini adalah favorit saya. jajaran padat mangrove yang didominasi oleh jenis Rizophora membentuk lintasan panjang hingga terlihat seperti sebuah terowongan. Saat melalui terowongan ini lebih baik kecepatan jalepa diperlambat. Dengan begitu kita bisa merasakan kesejukannya atau lebih memperhatikan biota yang hidup di tempat tersebut.

Keluar dari Terowongan Mangrove kita langsung bisa melihat hamparan Bangko Tappampang. Pohon-pohon mangrove tumbuh sehat dan rapat di tempat ini. Selain karena tidak dimiliki secara pribadi, penetapannya sebagai kawasan konservasi semakin menegaskan Bangko Tappampang tidak bisa diganggu bahkan harus dilindungi dari kerusakan. Lewatlah di sela-selanya untuk menikmati udara segar pagi hari disana. Kita juga bisa melihat Burung Belibis dan Bangau Putih yang banyak hidup dan mencari makan di dalam kawasan. Jika sedang beruntung, kadang kala Burung Beo dan Raja Udang juga menampakkan diri.

Terowongan Mangrove

Sela-sela Kawasan Konservasi Hutan Mangrove yang tenang dan sejuk di pagi hari
Sebelum matahari terlalu menyengat kulit, sebaiknya kegiatan berkeliling Bangko Tappampang disudahi. Udara pukul sepuluh ke atas di Tanakeke sudah sangat terik. Saya mengajak teman-teman untuk beristirahat di kolong rumah. Kita bisa berinteraksi dengan masyarakat yang biasanya mengikat bibit rumput laut. Sudah beberapa tahun ini budidaya rumput laut menjadi pekerjaan utama masyarakat Tanakeke. Sejak saat itu perairan rendah disana menjadi lahan untuk membentangkan ikatan rumput laut. Botol plastik yang dijadikan pelampung menjadi pemandangan umum disana.

Sejak pagi para lelaki sudah turun ke laut untuk mengambil bibit. Bibit-bibit tersebut dibawa ke daratan untuk kemudian diikat dalam ukuran kecil oleh ibu-ibu. Pekerjaan mengikat bibit rumput laut ini biasanya dikerjakan sampai siang. Setelah selesai, bentangan bibit rumput laut lalu diturunkan lagi ke laut selama 30 sampai 45 hari. Sebelum dipanen, kebersihan bentangan tadi harus dikontrol setiap hari. Jika ada lumut atau sampah yang tersangkut harus disingkirkan dengan cara menggoyang-goyangkan tali bentangan tersebut. Begitu seterusnya sampai rumput laut dirasa cukup besar untuk dipanen. Proses selanjutnya adalah mengeringkan. Jika matahari sedang terik, dalam dua hari rumput laut sudah kering dan siap untuk di-packing di dalam karung kemudian dijual.

Sore hari di Tanakeke adalah waktu paling menyenangkan. udara yang sudah kembali sejuk memungkinkan kita untuk berkeliling desa. Dengan begitu kita bisa bercengkrama akrab dengan masyarakat atau bermain di laut bersama dengan anak-anak. Puncaknya adalah pemandangan maha menakjubkan dari proses tenggelamnya matahari di sela-sela hutan mangrove. Cahaya dari bulatan kuning besar akan memberikan efek dramatis di langit. Sedang di laut akan ramai siluet nelayan yang pulang bersama dengan terbenamnya sang surya.

Seorang petani rumput laut menurunkan bentangan bibit ke laut
Setelah diikat di tali bentangan, bibit rumput laut siap dibudidayakan
Sunset dan nelayan di Tanakeke pulang bersamaan saat petang tiba
Malam hari kami lalui dengan memancing di dermaga. Kegiatan ini menjadi salah satu aktfitas favorit pendatang di Tanakeke. Ikan seperti Baronang atau Kerapu cukup mudah didapatkan disini. hasil yang didapatkan bisa langsung dibakar di rumah warga yang kita tumpangi. Di Tanakeke tidak ada penginapan semacam resort atau vila. Tapi warga disana cukup ramah untuk menyambut para pendatang. Kita juga bisa menitipkan uang untuk dibuatkan makanan selama tinggal di sana.

***
Malam memang tak pernah berumur tua di Tanakeke. Ada begitu banyak kegiatan menyenangkan yang menanti untuk dilakukan di esok hari.

“Jadi mau kemana ki lagi besok?”


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog "Blog Competition #TravelNBlog 5: Jelajah Sulsel" yang diselenggarakan oleh @TravelNBlogID 

Rabu, 09 Desember 2015

Mari Memasang Curiga


Ada dua peristiwa penting pada tanggal 9 Desember ini: Hari Peringatan Anti Korupsi Internasional dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal) yang dilaksanakan serentak. Saya kira dua momen dalam sehari ini sangat berhubungan. Apa sebab? Mungkin data-data berikut ini bisa menjelaskannya;

Menurut catatan Kemendagri, hingga 2014 tercatat 343 Kepala Daerah terjerat kasus korupsi. Angka itu setara dengan 86 persen dari seluruh kepala daerah yang ada di seluruh Indonesia. Angka yang sungguh fantastis. Kenyataan lainnya adalah, ternyata Pilkadal 2015 ini menujukkan ada beberapa kontestan yang diduga pernah terlibat kasus bahkan sempat menyandang status terpidana korupsi. Gila!

Memang kenyataan ini sungguh menyedihkan. Jalan reformasi yang memberikan langkah bebas kepada masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung malah melahirkan penjahat-penjahat yang semakin canggih. Pilkadal hari ini adalah mesin yang terus memproduksi koruptor-koruptur baru yang semakin keji dan tidak tahu malu.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Kita masyarakat tentu tidak bisa terlalu jauh untuk mengintervensi  sistem Pilkadal atau cara kerja politik. Hal minimal yang bisa kita lakukan adalah mengintervensi diri kita masing-masing untuk sadar dengan konsekuensi pilihan. Saya salut dengan orang-orang yang memilih menjadi golongan putih karena merasa tidak ada calon yang sesuai denga hati nuraninya. Kita memang harus mendasarkan pilihan kita pada keyakinan kan? Jangan pernah memilih jika tidak ada calon pemimpin yang dirasa dapat mengemban tugas tersebut. Jangan sampai di hari perayaan anti korupsi sedunia ini malah jadi momen lahirnya pemimpin korup.

Hal lainnya saya kira adalah kita harus mulai mengubah cara memperlakukan kepala daerah yang terpilih nantinya. Jika selama ini kita selalu menggantungkan harapan kepada para pemimpin baru, sudah saatnya kita harus memasang rasa curiga kepada mereka. Menggantungkan harapan adalah cara usang untuk berinteraksi dengan dengan para pemimpin. Cara itu terlalu melenakan, baik bagi masyarakat untuk mengawasi juga bagi pemimpin dalam bekerja. Sebaliknya, rasa curiga akan membuat kita selalu mawas diri akan tindak tanduk para pemimpin. Pemimpin akan merasa selalu diawasi. Dengan begitu mereka akan terus berupaya untuk berbuat terbaik dan terus meningkatkan kinerjanya.

Kita tentu sudah muak dengan para Pemberi Harapan Palsu (PHP). Mari mawas diri dengan mulai memasang rasa curiga. Jadi ucapan selamat nanti juga harus berubah. Kalau dulu “Selamat datang pemimpin baru, harapan kami ada padamu” nantinya harus menjadi “Selamat datang para pemimpin baru, awas kami curiga padamu!”

Selamat Hari Anti Korupsi Internasional. Mari menghadang niat jahat koruptor.

Kamis, 26 November 2015

Papua


Tentu kita tak akan pernah tahu bagaimana harapan lama akhirnya bisa terjadi saat ini.

Awal-awal SMA dulu saya terkagum dengan Papua saat menonton film Denias. Saya suka film ini bukan hanya karena bercerita tentang perjuangan tokoh utamanya untuk merasakan pendidikan formal. Lebih dari itu Denias menampilkan penampakan lansekap Papua yang sungguh cantik. Mulai dari pegunungan, hutan, sungai, semuanya sangat memanjakan mata. Oh ya satu lagi, logat Papua yang kental ditampilkan dan terdengar lucu di film ini menjadi pelengkap keinginan untuk berkunjung ke Tanah Cenderawasih ini.

Saat kuliah ketertarikan saya akan Papua semakin bertambah dan dalam pembahasan yang semakin luas. Saya mulai membaca Papua dari sisi yang sedikit berbeda dari sekedar kecantikan alamnya. Saya kemudian mendapati luka kemanusiaan yang sudah terjadi sejak lama. Bagaimana Papua menjadi bahan eksploitasi yang bahkan masih terjadi hingga saat ini, setelah rejim pemerintah berganti beberapa kali dan otonomi khusus telah diberikan. Di sana saya semakin ingin ke Papua, menyaksikan secara langsung apa sebenarnya yang terjadi. Bahkan saya menyempatkan membahas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua di dalam tugas akhir kuliah saya.

Namun kesempatan itu tidak juga datang, bahkan saat saya sudah tujuh tahun hidup di kampus. Pernah di tahun 2012 kalau tidak salah ingat, saat menerima honor yang cukup besar dari beberapa pekerjaan, saya berniat berkunjung ke Jayapura. Apalagi sudah ada kenalan disana yang bisa ditumpangi barang beberapa hari. Tapi niat itu urung terwujud. Saya malah memakai uang itu untuk solo trip ke beberapa tempat di Pulau Jawa. Niat awal hanya mengikuti sebuah konferensi mahasiswa selama tiga hari, saya malah terhasut untuk berkeliling di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah selama dua minggu lebih. Uang yang awalnya untuk mendatangi Papua tersebut pun habis.

Tapi siapa sangka saat ini saya di Papua!

Semuanya seperti serba mendadak. Kontrak kerja saya di sebuah program berakhir pada bulan Agustus tahun ini. sebulan kemudian semua urusan kampus yang bagi saya serba ribet itu akhirnya selesai (emoticon bernafas lega). Tiba-tiba datang tawaran dari seorang teman yang juga senior untuk kerja di Papua. Sebenarnya peluang ini sudah saya dengar dari beberapa bulan sebelumnya. tapi saat itu saya sedang fokus dengan pekerjaan yang sedang berjalan. Menjelang deadline pendaftaran, saya dikabari lagi. Saya berpikir dengan sedikit panik. Saya sangat ingin ke Papua tapi masih bertanya pada diri sendiri apakah siap untuk hidup dalam waktu yang lama disana. Tapi akhirnya saya mengirim surat lamaran tersebut di hari yang sama dengan datangnya pemberitahuan yang mengagetkan itu. Dan di sinilah saya sekarang, Papua, tepatnya di sekitar Kabupaten Mimika dan Kabupaten Asmat.

Saat mengirimkan surat lamaran hingga akhirnya berangkat ke Papua saya masih terus meyakinkan diri untuk terus mengembangkan diri di jalan pekerjaan sosial ini. mungkin terdengar berlebihan ya. Tapi itulah kenyataannya. Pada saat mudik lebaran yang lalu, Mamak lagi-lagi mengingatkan saya untuk kerja di Tarakan saja. Katanya saya sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Mendaftar sebagai pegawai negeri atau menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan kelapa sawit milik seorang kenalan keluarga jadi beberapa alternatif pilihan dari beliau. Tapi nyatanya saya memilih semakin jauh dari rumah. Tapi saya bersyukur dipilihkan Mamak yang selalu pengertian atas pilihan anak-anaknya. Ah jadi kangen Mamak kan.

Mari fokus kembali lalu mengakhiri kabar ini. Hehehe.

Saya tidak berharap banyak dengan kedatangan saya di Papua. Apalah saya ini. Niat saya menjelang berangkat adalah untuk belajar lebih banyak lagi, terutama tentang masyarakat, budaya, dan alam Papua. Tentu sambil menikmati segala keunikan dan keindahannya dong. Kalau ternyata kehadiran saya dinilai membawa manfaat (amin), itu sudah lebih dari cukup untuk bikin saya sangat bahagia dan bersyukur.

Begitulah. Sudah sebulan lebih ini saya menetap di Papua dan masih terus beradaptasi dengan kehidupan disini. Seperti bayangan saya, disini sangat menarik. Saking tertariknya saya jadi banyak bertanya selama sebulan ini. Doakan saya tidak terlalu malas untuk lebih sering memberi kabar lewat blog ini.


Sekian dulu. Nimao.

Sabtu, 26 September 2015

Humor yang Tidak Lucu di Kampus Merah


Sulit menjelaskan selera humor pejabat Fakultas Teknik Unhas akhir-akhir ini. Pada acara penyambutan mahasiswa baru lalu, sebuah spanduk berukuran besar terpajang di gedung Fakultas Teknik. Bukannya ucapan selamat datang, tapi adik-adik maba disambut dengan hasil scan pemberitaan sebuah harian lokal yang bertuliskan “Ngospek, 88 Mahasiwa Teknik Unhas Diskorsing.” Apa maksud dari spanduk tersebut? Saya mencoba sekuat tenaga untuk tidak berburuk sangka dalam menilai. Tapi tetap saja pemikiran yang muncul selalu itu-itu juga, spanduk ini bertujuan untuk mengancam! Tidak mungkin spanduk ini hanya pemberitahuan biasa.

Saya merasa lucu sekaligus terheran-heran saat mengetahui hal ini. Saya kira teknik propaganda seperti ini sudah menghilang sejak rezim orde baru runtuh. Ternyata cara Suharto untuk menakut-nakuti lawannya masih hidup lestari, bahkan masuk sampai ke kampus, kantong utama pendorong reformasi. Saya berpikir, tidak adakah cara lain yang lebih indah selain cara kekanak-kanakan tersebut. Bukannya lebih baik duduk bersama, ngopi atau ngeteh, lantas membicarakan titik temu. Saya kira teman-teman mahasiswa lama cuma ingin mengakrabkan diri dengan adik-adik angkatan mereka. Dapat gebetan dari situ, itu bonus lah. Terlepas dari caranya yang dianggap masih kurang pas, itu yang perlu dipikirkan bersama.

Tapi pihak Dekanat Teknik memilih berpikiran pendek: mengancam!

Tidak berapa lama kemudian, di media sosial muncul sebuah foto yang menujukkan sebuah pemberitahuan yang tidak kalah lucu-tapi-membuat-heran, kalau tidak boleh disebut absurd. Masih dari Fakultas Teknik namun kali ini tidak sebesar spanduk sebelumnya. Pengumuman tersebut hanya seukuran kertas A4, tapi dengan tujuan yang sama. Isinya, larangan masuk perpustakaan bagi mahasiswa yang berambut panjang alias gondrong. Lalu di bagian bawah tulisan tersebut ada himbaun tambahan: “KECUALI ADA IZIN DARI PIMPINAN FAKULTAS.” Alamak, orde baru nyata masih hidup di Fakultas Teknik Unhas. Tentu saya tidak perlu menjelaskan bagaimana Suharto begitu membenci manusia yang gondrong pada eranya.

Sebesar apa sih salahnya mahasiswa gondrong sampai mereka dilarang masuk perpustakaan? Apakah mereka pernah membuat kekacauang di dalamnya? Ataukah penampilan mereka mengusik konsentrasi pengunjung lain yang sedang asyik membaca? Sepertinya saya belum pernah mendengar berita semacam itu. Lantas apa? Mahasiswa gondrong itu bermoral buruk? Wah gawat sekali kalau sampai si penempel pemberitahuan tersebut sampai berpikiran seperti itu. Dimana korelasi antara rambut gondrong dan moral yang tidak baik. Munkin ada pelaku kriminal yang kebetulan berambut gondrong. Tapi kan tidak semua. Kalau mau sesat pikir ini dilanjutkan boleh dong si gondrong bilang, “pejabat koruptor yang hari ini jadi pesakitan semua rambutnya pendek dan rapi, bro.” Nah bagaimana kalau begitu?

Kalau mau mencari murid yang rambutnya seragam pendek semua, saya sarankan, mending bapak/ibu ngajar di Wirabuana saja lah.

Kita semua tentu tahu bagaimana manusia gondrong distigma begitu liar di masyarakat sejak dulu. Tapi yang saya sayangkan adalah stigma itu ikut tumbuh subur di ruang-ruang akademis. Seharusnya kampus menjadi tempat yang bebas bagi bersemainya ilmu pengetahuan. Kampus haruslah menjadi jalan raya tempat ide dan pemikiran-pemikiran berlalu lalang. Bukannya menjadi ruang ketakutan akibat ulah penguasa bermental kerdil yang kerjanya hanya mengamcam!


Mungkin Bapak/Ibu di Dekanat Teknik Unhas perlu diingatkan. Nama kampus kita ini diambil dari seorang pahlawan terbesar di Sulawesi Selatan, Sultan Hasanuddin. Iya Sultan Hasanuddin yang gagah perkasa namun arif bijaksana itu. Dan yang paling perlu diingat, Sultan Hasanuddin itu gondrong!

Jumat, 25 September 2015

Mengerti untuk Melawan: Upaya Masyarakat Kepulauan Tanakeke Mencegah Korupsi


Banyak kasus tindak pidana korupsi yang terjadi karena ketidaktahuan, baik ketidaktahuan masyarakat tentang proses penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah, juga ketidaktahuan aparat dalam menggunakan anggaran negara. Lemahnya kapasitas pengetahuan kedua unsur ini kemungkinan disebabkan oleh rasa apatisme yang lahir dari buruknya sistem yang selama ini berjalan. Hal tersebutlah yang selama lima tahun belakangan ini ingin diubah oleh masyarakat dan aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.

Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa dengan sumber daya alam yang sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Pulau ini juga dikenal sebagai penopang keseimbangan lingkungan pesisir Sulawesi Selatan karena memiliki kawasan bakau (mangrove) yang sangat luas. Sampai tahun 1980-an luas hutan bakau di Pulau Tanakeke mencapai 1.776 hektar. Namun pada tahun tersebut terjadi pengalih-fungsian hutan bakau menjadi lahan tambak atau empang secara besar-besaran. Luasan hutan bakau Kepulauan Tanakeke berkurang secara drastis hingga tersisa 500-an hektar saja saat ini. Setelah sekitar 30 tahun berlalu, tambak-tambak yang tadinya berjaya kini menjadi lahan-lahan mati karena perubahan ekosistem dan terdegradasinya kualitas lahan. Keuntungan hanya dirasakan segelintir orang saja. Kebanyakan masyarakat Kepulauan Tanakeke masih hidup dalam kerentanan ekonomi, bahkan semakin sulit karena lingkungan mulai terganganggu. Ketidaktahuan menjauhkan masyarakat dari kesejahteraan!

Belajar dari kejadian masa lalu tersebut, masyarakat juga aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke kini berbenah. Sejak tahun 2010, dengan didampingi oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) dan Oxfam Indonesia Tmur, mereka mulai membangun kembali tata kelola kehidupan masyarakat dan pemerintahan yang lebih baik. “Baik” dalam artian pengelolaan desa yang partisipatif, responsif gender dan pro pada masyarakat yang rentan secara ekonomi.

Pengelolaan desa yang partisipatif penting diwujudkan agar pembangunan desa tidak dimonopoli oleh segelintir orang saja. Semua harus terlibat agar proses sumbang saran bisa berjalan efektif dan nantinya manfaat pembangunan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Penyadaran itulah yang mula-mula diberikan kepada masyarakat serta aparat pemerintah desa di Kepulauan Tanakeke. Aparat pemerintah desa dilatih tentang manajemen pengelolaan desa yang baik, masyarakat didorong untuk lebih aktif terlibat dalam pengawasan. Dalam tiga tahun belakangan ini hal tersebut sudah bisa berjalan, walaupun masih perlu terus ditingkatkan.

Kini Musrenbangdes (Musyawarah Rencana Pembangunan Desa) di lima desa di Kepulauan Tanakeke tidak sepi lagi seperti dulu. Masyarakat diizinkan, bahkan diundang untuk datang memberikan masukan dalam pengelolaan dana desa. Apalagi saat ini desa mengelola dana yang cukup besar setelah Undang-Undang Desa mulai berlaku. Masyarakat dan aparat pemerintah desa harus menyadari bahwa pengelolaan dan pengawasan penggunaan dana desa haruslah berjalan dengan baik. Jika tidak begitu, manfaat tidak akan didapatkan dan bisa saja akan terjadi penyalahgunaan anggaran.

Selain itu perspektif pembangunan desa yang lebih peka gender juga sudah mulai terlihat. Misalnya pembangunan beberapa fasilitas umum diharuskan memenuhi kebutuhan yang setara antara perempuan dan laki-laki. Dorongan untuk menyekolahkan anak minimal hingga SMA terus dilakukan di semua desa. Bahkan di Desa Maccini Baji dan Desa Tompo Tana, aparat pemerintah desa melarang perkawinan di bawah umur untuk menghindarkan anak-anak pada dampak buruk di usia dini.

Alokasi Dana Desa yang cukup besar tidak hanya diperuntukan untuk pembangunan fisik saja, tetapi juga untuk pembangunan kapasitas masyarakat. Masyarakat yang rentan secara ekonomi diberikan pelatihan berwirausaha dengan jalan memanfaatkan potensi lokal Kepulauan Tanakeke. Hal ini dilakukan untuk melepaskan masyarakat dari praktek Punggawa-Sawi (semacam praktek rentenir yang berlaku di wilayah pesisir Sulawesi Selatan) yang sangat memberatkan masyarakat. Kesemua hal tersebut dilakukan semata untuk mendistribusikan manfaat pembangunan yang lebih adil.


Secara perlahan kini masyarakat Kepulauan Tanakeke terus membangun kapasitas pengetahuan tentang pengelolaan desa mereka. Karena pengetahuan adalah gerbang menuju kesejahteraan dan portal penghalang bagi terjadinya penyalahgunaan dan tindak pidana korupsi.

Kamis, 02 Juli 2015

Ramadhan di Laut

Di Pulau Tanakeke, mungkin juga pada masyarakat pesisir pada umumnya, hampir tidak ada perubahan rutinitas yang berarti pada bulan Ramadhan. Aktifitas masih dimulai sejak setelah salat subuh hingga matahari terbenam. Kegiatan di laut pada siang hari juga masih dilakukan. Tenaga dan semangat bekerja mereka seperti tidak berkurang sama sekali di kala puasa ini.

Pencari kepiting dan udang di sela-sela pohon mangrove dengan menggunakan lepa-lepa (kapal kecil tanpa mesin, hanya menggunakan layar terpal). Teknik yang digunakan adalah dengan cara tado' (menjerat dengan tali tasi).

Pencari ikan ini sedang memukul-mukul air laut untuk menggiring ikan menuju jala yang telah mereka pasang terlebih dahulu. Ikan ketakutan, berenang menuju jala, hap! Ikan terjerat dan siap dibawa pulang.

Setelah diikat, rumput laut siap dibawa ke lahan penanaman. Lahan rumput laut biasanya terletak di antara laut dangkal dan laut dalam. Yang harus dipastikan adalah rumput laut tetap terendam saat air laut sedang surut.

Anak-anak ini tetap bermain di tepi lahan mangrove. Biasanya sambil bermain mereka membawa alat tangkap sederhana. Jika melihat ikan, udang atau kepiting, mereka dengan cekatan menangkapnya. Kan lumayan, bermain sambil menambah persedian makan malam. Hehehe.