Bagi saya 2015 cukup memberi kabar yang cukup menggembirakan
bagi kancah musik Indonesia. Sepanjang tahun ramai musisi dari berbagai genre
menghasilkan karya. Tidak hanya dari muka lama, pendatang baru juga semakin
tidak malu-malu lagi untuk menunjukkan
aksi mereka. Produktifitas tersebut semakin istimewa karena diimbangi dengan
keberanian para musisi untuk bereksplorasi menciptakan musik yang terdengar
lebih segar. Kebaruan dalam berkarya menjadi nilai yang paling berharga saya
kira.
Dari sekian banyak karya tersebut, ada beberapa album yang
kemudian mencuri perhatian telinga saya. dimulai dengan hentakan dari Kelompok
Penerbang Roket. Trio asal Jakarta ini menjadi pendatang baru paling panas di
jagat musik rock Indonesia. Komposisi mereka banyak terinspirasi dari era
kejayaan musik keras Indonesia. Kelebihan lain dari Kelompok Penerbang Roket
adalah produktifitas tingkat tinggi yang mereka miliki. Hanya dalam hitungan
bulan mereka berhasil merilis dua buah album, Teriakan Bocah dan HAII
yang merupakan proyek remake karya band
legendaris Panbers.
Ada pula Stars and Rabbit yang akhirnya berhasil
merampungkan album mereka yang kemudian diberi judul Constellation. Album ini berisi sekumpulan lagu cinta berlirik unik
dan dibalut dengan musik folk dengan kualitas sound jempolan. Belum lagi artwork dengan tulisan tangannya yang
ciamik. Penantian lama untuk duo asal Jogja ini sangat “Worth It”.
Menjelang akhir tahun penikmat musik independen tanah air
dibuat terpikat oleh Barasuara, bahkan sebelum album mereka dirilis. Aksi
panggung memukau dan single yang
mereka bagikan cukup merebut perhatian banyak orang. Begitu keluar album mereka
segera menggulung, persis seperti judulnya, Taifun.
Album ini menjadi salah satu rilisan yang paling banyak dicari di tahun 2015.
Tepat di penghujung tahun ini Efek Rumah Kaca akhirnya
memastikan lahirnyanya album baru mereka. Album ketiga yang berjudul Sinestesia ini menjadi rilisan yang
paling diantipisasi dalam tiga tahun belakangan ini. lewat Sinestesia, Efek Rumah Kaca menapak ke level lebih lanjut dalam
karir bermusik mereka. Tema yang diangkat masih seputar isu sosial dan politik
keseharian. Namun kali Efek Rumah Kaca bermain dalam durasi yang tidak lazim.
Keenam lagu yang ada di album ini berdurasi di atas tujuh menit. Setiap lagu
adalah gabungan dari dua fragmen yang saling coba menggambarkan kontradiksi
dalam sebuah tema. Lagu kesukaan saya adalah “Kuning” yang bercerita tentang
ekstrimisme dalam beragama dan perdamaian dalam keragaman.
Namun album favorit saya di tahun 2015 ini adalah Dosa, Kota dan Kenangan milik grup folk
Silampukau. Bagi saya album ini memenuhi semua syarat untuk menjadi yang paling
sering diputar. Musik folk dengan keberanian memberi variasi di beberapa
bagian. Lirik yang bercerita tentang kehidupan kota Surabaya dari berbagai sudut
pandang menjadi poin paling penting dari album ini. Pada akun twitter-nya,
Silampukau memberikan deskripsi yang sangat pas untuk karya-karya mereka, “lagu-lagu sederhana
tentang orang-orang sederhana.”
Bagi saya, Dosa, Kota, dan Kenangan lebih dari sedekar album musik. Mendengarkannya juga seperti
membaca kumpulan cerita pendek yang begitu membangun imajinasi. Silampukau
sangat pintar merekam keseharian orang-orang Surabaya yang selama ini cenderung
diabaikan. Mulai dari potret keputusasaan anak muda dengan keadaan, hiruk pikuk
di berbagai sudut kota, sampai konflik lahan masyarakat perkotaan ditampilkan dengan
apik. Suara kedua personilnya yang saling mengisi menambah ramah lagu-lagu
mereka untuk diterima telinga.
Tiga lagu di album ini yang paling sering saya putar adalah “Puan
Kelana”, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”, dan “Doa 1”. “Puan Kelana” adalah nyanyian
perih seorang lelaki yang ditinggal kekasihnya menuju Paris, Prancis. Ia
menyayangkan mengapa sang pacar pergi, padahal “dunia punya luka yang sama”. “Lagu
Rantau (Sambat Omah)” kemudian mengingatkan saya bahwa sedang jauh dari rumah. Bercerita
tentang seorang perantau dengan harapan menjadi kaya di kota. Waktu kemudian
menyadarkannya bahwa Ia semakin jauh dari harapannya. “Oh demi Tuhan atau demi
Setan sumpah aku ingin rumah untuk pulang.” Lalu “Doa 1” semacam perpaduan
antara ratapan diri dan harapan anak
indie. Musiknya tidak dibuat balada tapi dengan country yang terdengar ceria. Lagu
ini juga semacam satire bagi industri televisi yang terasa semakin murahan.
Saya belum pernah mendengar sebuah album utuh dengan konsep
seperti Dosa, Kota, dan Kenangan. Sebuah
modal besar bagi Silampukau yang baru memperkenalkan diri ke kancah musik
Indonesia.