Saya sedang tidak ingin membahas lagu si Raisa yang "Serba Salah" itu disini. Tapi saya sedang ingin membahas tentang Pemilu Raya di kampus saya tercinta, Fakultas Hukum Unhas yang dilaksanakan pada hari Senin (12/12) kemarin. Menurut saya ada yang salah dalam pemilu tersebut. Banyak malah salahnya (atau serba salah?).
Sebenarnya tulisan ini tidak akan berpengaruh apa-apa sih. Toh pemenang pemilu sudah ditetapkan. Sudah dilantik malah. Tapi tak mengapalah, untuk lebih menjelaskan permasalahn ini saya akan tetap membahasnya. Letak kesalahannya akan saya bahas satu per satu disini.
Sebenarnya kesalahan telah terjadi sebelum Pemilu Raya dilaksanakan. Bulan lalu, Dewan Pertimbangan Mahasiswa atau DPM (badan legislatif mahasiswa di kampus, setara DPR kalau dalam konteks negara) yang seyogyanya akan memilih dan menetapkan Panitia Pemilihan Umum (PPU) dan melantik DPM yang baru telah (ikut-ikutan) melakukan laporan pertanggungjawaban (LPJ), bersamaan dengan LPJ BEM. Sepengetahuan saya, kalau sudah LPJ berarti statusnya demisoner dong. Itu artinya terjadi kekosongan jabatan pada saat itu. Tapi anehnya, pemilihan PPU dilakukan oleh orang-orang yang menjabat sebagai anggota DPM yang bulan lalu telah melepas masa jabatannya tersebut. Entah tidak tahu atau sengaja tidak tahu.
Sudah yang memilih adalah orang yang salah, proses pemilihan PPU pun ikut-ikutan salah. Lebih tepatnya proses penetapan ketua PPU-nya yang salah. Sewaktu masih mahasiswa baru saya pernah melalui proses pemilihan dan terpilih sebagai anggota PPU waktu itu. Setahu saya ketua PPU dipilih dan ditetapkan oleh para anggota PPU terpilih itu sendiri. Tapi menurut informasi yang saya dapatkan dari seorang teman, ketua PPU tahun ini ditetapkan oleh tim penyeleksi, yaitu (yang masih merasa) anggota DPM tadi.
Sekedar informasi, teman yang memberi informasi tadi juga mengikuti seleksi anggota PPU tahun ini. Sebenarnya ia terpilih pada proses seleksi tersebut. Tapi tidak pernah lagi dikabari oleh ketua PPU terpilih tentang persiapan Pemilu Raya. akhirnya ia mundur teratur saja dan tak mau tahu lagi.
Kesalahan berlanjut pada penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden BEM. Untuk calon anggota DPM tak ada masalah lah. Kalau tidak salah ada dua belas calon yang ditetapkan. Tapi hingga tenggat yang telah ditentukan oleh PPU, hanya satu pasangan Capres dan Cawapres yang mendaftar. Salahnya adalah mengapa PPU langsung menetapkan begitu saja pasangan Capres dan Cawapres yang hanya satu tadi menjadi Calon Capres dan Cawapres BEM. Apakah tidak terlalu terburu-buru. Seharusnya PPU memperpanjang masa pendaftaran. Siapa tahu masih ada yang mau mendaftar tapi masih terkendala sesuatu dan lain hal. Lagipula, siapa yang akan dipilih jika calonnya cuma satu.
Nah disitulah letak kesalahan PPU selanjutnya. Okelah, mereka tetap menetapkan bahwa calon Capres Cawapres BEM tahun ini hanya satu (tanpa memperpanjang waktu pendaftaran tentunya). Lalu mengapa Capres Cawapres yang hanya satu tadi tidak langsung ditetapkan saja menjadi Presiden dan Wakil Presiden BEM terpilih melalui jalan aklamasi. Mengapa harus melalui proses coblos-mencoblos lagi. Sungguh hanya formalitas yang membuang-buang anggaran saja. Tahukah kalian, lembaga-lembaga UKM sedang mati-matian mencari dana akibat dari "tutup buku"-nya birokrat.
Kacaunya, proses coblos-mencoblos yang dilakukan di dalam bilik suara tersebut dilakukan untuk memilih "YA" atau "TIDAK" pada satu pasangan calon tadi. Katanya, jika lebih banyak yang memilih "YA" maka pasangan calon tadi baru ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Tapi jika sebaliknya, maka pemilu akan diulang dengan membuka pendaftara lagi.
Alamak, apapula ini. Baru kali ini saya mendengar ada pemilihan pemimpin melalui mekanisme seperti itu. Kalian pikir ini refrendum untuk menyatakan sikap "YA" atau "TIDAK". Oke sejarah telah tercipta disini. Tapi kalau sejarah memalukan macam ini untuk apa?
Belum lagi hal mubazir yang telah dilakukan. Pada pemilu tersebut begitu banyak kertas yang "mati sia-sia". Seandainya proses tersebut tidak ada, tentu tidak akan ada kertas yang tersobek secara percuma. Apakah kalian tahu kertas itu terbuat dari pohon yang untuk menunggunya tumbuh butuh waktu satu generasi manusia. (Sok Aktivis Lingkungan :p)
Kembali ke pokok pembahasan.
Pada prosesnya, pemilu tahun ini diramaikan oleh (hanya) sekitar 300-an pemilih yang tentunya berstatus KEMA (Keluarga Mahasiswa). 250-an pemilih menyatakan "YA" dan selebihnya menyatakan "TIDAK". Lalu kenapa mi? 300-an tidak merepresentasikan jumlah KEMA, yang katanya berjumlah sekitar 3000-an bung. Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang hanya dipercaya oleh sepersepuluh dari jumlah orang-orang yang akan ia pimpin.
Untuk proses pemilihan DPM saya juga menangkap satu kesalahan. Kesalahan terjadi pada penetapan komposisi anggota DPM. Setahu saya (lagi-lagi berdasarkan pengalaman sebagai anggota PPU dua tahun lalu) yang berhak ditetapkan sebagai anggota DPM terpilih adalah mereka yang memperoleh minimal 5% suara dari jumlah pemilih pada saat itu. Tapi jumlah mereka harus ganjil, untuk mempermudah mereka dalam mengambil keputusan nantinya. Tapi (lagi-lagi) yang saya dengar komposisi anggota DPM telah ditentukan sebelumnya oleh PPU, yaitu sebelas orang. Tak peduli ada diantara sebelas orang itu yang memperoleh kurang dari 5% suara. Aduh Pusing.
Blunder PPU tidak berhenti sampai terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden BEM serta anggota DPM. Sekali lagi PPU melakukan hal yang sangat terburu-buru menurut saya. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden BEM serta anggota DPM terpilih hanya berselang sehari setelah Pemilu Raya. Apakah PPU tidak memberikan kesempatan kepada orang yang ingin mengajukan protes terhadap hasil pemilu ini. Siapa tahu ada yang tidak terima dengan hasil pemilihan ini.
Tapi apa boleh buat lah. Semua sudah terjadi. Toh tulisan ini tidak akan mengubah keadaan. Yang sekarang perlu dicatat adalah jangan sampai kesalahan beruntun seperti ini terulang pada Pemilu Raya berikutnya. Saya hanya bisa berdoa semoga yang terpilih pada proses ini dapat mengemban jabatan dengan sebaik-baiknya.
Maafkan saya jika tidak ikut terlibat memilih pada pemilu kemarin. Saya tidak menggunakan hak suara saya karena saya belum melihat ada yang bisa mewakili aspirasi saya untuk memimpin KEMA fakultas tercinta ini. Lagi-lagi, maafkan saya jika saya skeptis. Tapi menurut saya, jika kita salah memilih pemimpin dan ternyata pemimpin itu berbuat salah nantinya, maka bukan hanya pemimpin tersebut yang berdosa. Kita yang memberikan suara kita untuknya pun ikut berdosa.
Semoga Tuhan merahmati kita semua.
mohon ijin mbah opu.. mau k tautkan link page ini di postingan ku tentang Pemira di blog ku. Boleh?
BalasHapuskalau kita ji, sangat boleh kakak :)
BalasHapusulungdotcom minta ijin ninggalin jejak yaoo masbro...
BalasHapusi like this post...
gimana kalo lo aja yang jadi presiden BEM.nya bro??
*huehueehueeehuee